Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Selasa, 31 Agustus 2010

Unpredictable part 9 (End)

Aku membuka mataku, sinar terang langsung menyerbu penglihatanku membuat mataku harus menyesuaikan selama beberapa detik.
Wajah pertama yang kulihat langsung menyapaku.
"Halo, sayang. Akhirnya kamu sadar juga. Bagaimana keadaan kamu sekarang?" suara wanita yang lembut itu terdengar familiar. Aku mengerjapkan mata beberapa kali.
Ruangan ini putih bersih dengan cahaya yang gemilauan.
"Di mana aku?" aku meringis sakit menyadari kepalaku terbebat perban tebal.
"Di rumah sakit sayang, sebentar..." wanita itu keluar setelah mengusap tanganku lembut, seperti takut itu akan patah kalau disentuh olehnya. Tak lama kemudian dia kembali dengan dua orang pria dan seorang wanita yang lain yang wajahnya sama dengan wajah wanita yang pertama.
Mengapa wajah mereka begitu sama? batinku.
"Halo sayang..." pria yang lebih tua menyapa dengan senyum penuh kelegaan, seperti baru saja lepas dari beban berat.
"Halo," balasku membalas senyumnya.
Pria yang lebih muda dan tampan maju mendekat. Di seutuhnya lembut, sangat lembut tanganku, seolah-olah itu hal yang sangat rapuh. Aku mencoba mengangkat tanganku, namun gips besar dan tebal membuat aku harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menggerakkannya, tapi usaha sia-sia, terlalu lemah aku.
Semua mata memandangku.
"Kalian siapa?" tanyaku bingung, mulai sedikit rasa takut ada padaku.
"Aku mamamu dan dia papamu sayang, apa kau lupa?" kata wanita pertama.
"Dan aku kakakmu, Kak Irfan, ingat?" pria tampan itu masih memegang tanganku. Aku mengangguk mengiyakan. Wajahnya yang tampan membuat aku seperti tersihir.
"Dan siapa dia?" daguku ku arahkan ke wanita yang mirip dengan orang yang mengaku mamaku.
"Dia Tante Diana."
"Mengapa kalian begitu mirip?" aku benar-benar ingin tahu.
"Kami kembar sayang."
Aku mengangguk sedikit tanda mengerti.
"Lalu apa katamu tadi, aku di rumah sakit? Memangnya, apa yang terjadi denganku?"
aku mulai kebingungan sendiri.
"Kamu kurang berhati-hati sayang, kamu kecelakaan dan sudah dua hari ini tidak sadarkan diri, syukurlah kamu sadar sekarang," pria yang mengaku papaku tersenyum di akhir kata-katanya. Wajah yang membuat aku tersenyum juga padanya.
"Bagaimana keadaanmu sekarang Fraya? Apa lebih baik?" pria tampan yang ternyata adalah kakakku berhasil mengalihkan perhatianku dari papa kepadanya.
"Aku baik Kak Rifan. Ngomong-ngomong, Fraya itu siapa?"
Pertanyaan terakhirku membuat semua diam dan menatapku dengan kekagetan.
"Kalau kalian mengenalku, lalu aku ini siapa?"

Kamis, 26 Agustus 2010

Unpredictable part 8

Sepertinya karena masalah akhir-akhir ini membuat aku lelah. Aku jadi mudah mengantuk dan tidur lama, aku tidur empat jam dari pukul empat sore dan terbangun pukul delapan malam, itupun karena perutku keroncongan.
Aku menuruni tangga, lagi-lagi rumah ini sepi, membangkitkan kesan mistisnya.
Aku melongok ke halaman depan rumah. Tidak ada mobilku terparkir di sana. Sepertinya Kak Rifan yang menggunakannya.
Ah Kak Rifan, setelah tidur tadi aku merasa sedikit lebih baik. Sebaiknya aku menarik ucapanku pada papa maupun Kak Rifan juga Tante Diana dan meminta maaf.
Sungguh tidak bijak berkata-kata kasar saat sedang marah, yang ada hanya menyisakan penyesalan dan sakit hati.
Aku menunggu Kak Rifan pulang karena aku pun tidak dapat tidur setelah 'hibernasi'ku tadi siang.
Bunyi telepon rumah membuat aku terpaksa mengalihkan perhatianku dari drama romantis yang sedang kutonton.
"Halo, betul ini rumah Rifan Hasdiwantara?" suara pria dengan nada galak.
"Yah betul. Ini siapa yah?"
"Saya berbicara dengan siapa dari Rifan?"
"Saya adiknya, ada apa yah Pak?" aku begitu gugup.
"Saya dari kepolisian ingin melaporkan bahwa kakak anda mengalami kecelakaan di jalan raya, diduga akibat penggunaan sejenis narkoba yang membuat pengguna mengalami fantasi dan kemunduran kesadaran."
Hatiku langsung berdebar, dan pegangan tanganku pada telepon langsung mengendur, gagang itu pun jatuh dari genggamanku. Oh Tuhan, apa lagi ini?
Seminggu yang lalu Kau ambil mamaku, saat ini Kak Rifan. Apa salahku? Siapa lagi yang akan Kau ambil dariku?
Aku meraih gagang telopon yang terlepas, terdengar nada memanggil dari ujung sana.
"Jadi di mana kakak saya sekarang?" tanyaku panik.
"Di rumah sakit Cempaka, harap adik segera datang," sambungan diputuskan.
Aku masih terpaku pada tempatku. Setelah sadar dari kekagetanku, aku langsung mengganti pakaianku dan menuju tempat yang dikatakan oleh petugas polisi.
Tuhan, aku meminta kepadaMU sekali lagi, tolong kakakku, aku ingin meminta maaf padanya, aku ingin dia tetap bersama-sama denganku, dialah alasan aku bertahan hidup mengatasi semua beban hidupku. Tuhan, tolong aku.
Aku menangis sepanjang perjalanan. Entah berapa banyak air mata yang telah kucucurkan akhir-akhir ini.
Saat tiba di sana, aku melihat dua polisi sedang berbincang di hall utama.
"Pak, apa bapak yang menangani kasus Rifan Hasdiwantara?" tanyaku dengan cepat.
"Yah, anda siapa?"
"Saya adiknya yang menerima telepon tadi," kataku. Polisi itu segera menunjukkan tempat di mana Kak Rifan berada. Oh tidak, jangan ke arah sana, jangan lagi. Bau formalin itu, ranjang besi yang dingin, selimut yang tipis, tidak jangan ke sana.
Polisi itu terdiam sejenak sebelum membuka pintu yang kukenal, pintu kematian itu. Dia berbalik dengan muka menyesal, "Kakak anda tewas di lokasi kejadian." Lalu polisi itu membuka pintu dan bau formaldehid itu langsung menusuk hidungku.
Aku melihat Kak Rifan dideretan tengah. Beberapa perban membungkus kepalanya dan menutupi setengah mukanya yang hancur terbakar, dari balik selimutnya yang tipis, aku melihat beberapa luka goresan panjang di tangannya.
"Kak, maafkan aku atas ucapanku kemarin, aku nggak sungguh-sungguh, aku ingin kakak bersamaku selalu," tangisku menyeruak dan salah satu polisi itu memegang pundakku, menenangkan.
"Katakan padaku ini hanya lelucon, dan dalam beberapa detik lagi, kakak saya akan bangun kembali dan kita semua akan tertawa kan?" aku tertawa keras, sikap seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya.
"Tidak Nak, terimalah kenyataan."
"Saya tidak mau menerima kenyataan. Ini bukan kakak saya, ini bukan Kak Rifan. Wajahnya tidak seburuk itu, ini bukan kakakku," aku berlari meninggalkan ruangan kelam itu, aku nggak akan pernah mau kembali ke sana.
Aku terus berlari keluar dari rumah maut ini, rumah yang mencabut nyawa semua orang yang kusayang.
"Puas kau? Semua orang yang kupunya kau rebut!!!" aku berteriak seperti orang gila. Tapi HEY!!! Aku tidak gila.
Kalau aku tidak gila, lalu mengapa mama dan Kak Rifan melambaikan tangan mereka di seberang jalan sana?
Polisi-polisi di belakangku mengejar. Ah, pasti ini lelucon, dan mereka tidak mau aku tahu trik mereka.
Dua polisi itu berteriak-teriak. Terlambat, aku sudah menemukan mereka, mama dan Kak Rifan, mereka di seberang jalan itu, melambaikan tangan mereka dan tersenyum menyambutku. Aku terus berlari ke arah mereka, teriakan di belakangku bilang, "Berhenti!"
Aku menoleh ke arah kananku, ada cahaya terang yang kian lama kian mendekat. Cahaya itu menyilaukan mataku dan membuat langkah terhenti dan menutup mataku.
Lalu semua menjadi gelap. Ah, mama dan Kak Irfan, mereka menghilang lagi. Ke mana mereka? Cahaya apa itu tadi? Lalu mengapa sekarang semua menjadi gelap? Baru saja kutemukan cahayaku di seberang jalan itu lalu kembali kegelapan melingkupi aku. Tidakkah aku boleh memiliki kesempatan?
Lalu kegelapan itu semakin mendekap erat diriku dalam pelukannya.
***

Minggu, 22 Agustus 2010

Unpredictable part 7

Kak Rifan sudah membuka selimut mama sampai ke bagian bahu. Mama juga terlihat pucat, dan mama juga bau, pasti karena terkontaminasi teman sekamarnya ini. Mama juga tidak memakai baju, padahal kamar ini dingin.
Kak Rifan hanya memandangi wajah mama.
"Ma, ayo bangun," aku menunggu respon mama, tapi tak ada.
"Ma, ini Fraya, mama nggak kangen sama aku? Kenapa mama ninggalin kita? Kenapa mama nggak cerita dari awal? Kan kita bisa berunding ma, jadi aku nggak perlu sedih. Ma, ayo bangun buka mata mama," aku mengguncang sedikit tubuh mama yang tak bernyawa lagi.
"Ma, Fraya pingin dengar mama manggil nama Fraya tiap pagi, bangunin Fraya, makan masakan mama, jalan-jalan keluarga. Mama janji kan mau lihat Fraya di wisuda, mama sudah janji akan berbelanja bersama Fraya, mama bilang kalau mama akan bersama-sama Fraya sampai Fraya menemukan pria yang tepat untuk Fraya. Mama jangan tutup mata terus, mama bangun," aku mau menyentuh mama lagi tapi tangan besar yang hangat, yang berbeda dari badan mama yang dingin, mencengkram erat pundakku dan menariknya ke belakang menjauhi mama sehingga tanganku tak dapat menjangkau mama.
"Fraya, sudahlah."
"Ma bangun ma," aku berusaha melepaskan diri dari Kak Rifan.
"FRAYA!" Kak Rifan berteriak kencang, aku kaget tapi itu bagus menurutku untuk membangunkan mama, tapi kalau yang lain juga bangun bagaimana?
"Sstt, nanti yang lain bangun kak," aku mencoba memberitahu, tapi yang ada Kak Rifan malah kaget menatapku atas jawabanku itu.
"Fraya, ayo kita biarkan mama tidur dulu, mama butuh istirahat kan," Kak Rifan menggandengku keluar, aku menurut. Yah, nanti mama juga bangun, mama memang butuh istirahat sejenak karena menempuh jarak yang jauh untuk dapat bertemu dengan kami lagi.
"Kak, janji mama akan bangun?" pertanyaan bodoh yang dilontarkan oleh anak kecil. Kak Rifan hanya tersenyum dan aku tidak dapat mengartikan jawaban dari senyum itu.
***
Sudah seminggu sejak pemakaman mama, aku bahkan tidak mau pergi pada acara kematian itu. Untuk apa aku ikut mengubur orang yang sudah mati? Aku lebih baik mengurung diri di kamar, minggu depan aku harus melanjutkan kuliahku.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, saat dimana semua tidur terlelap. Aku menuruni tangga untuk mengambil minum, tapi lampu ruang tamu menyala. Aku memberanikan diri mengintip, apakah ada tamu papa selarut ini?
Aku melihat Tante Diana, Papa dan Kak Rifan di sana. Sepertinya ada masalah serius. Karena malam ini hening, aku dapat mendengar jelas omongan mereka dari tempat persembunyianku.
"Jangan lagi Fan, cukup kamu yang dikarantina dua tahun," suara berat namun berwibawa itu pasti milik papa.
"Tapi Roy, Rifan mungkin benar, kita harus membawa Fraya ke psikiater, jiwanya terguncang hebat akibat kematian Dina," satu-satunya suara wanita yaitu Tante Diana.
"Tapi," omongan Papa langsung disela suara halus yang nge-bass.
"Pa, soal aku pernah rehab tolong jangan diungkit lagi. Lagipula belum tentu Fraya sakit jiwa dan harus dikarantina. Ini hanya pemeriksaan biasa."
"Aku tidak gila!" aku keluar dari tempat persembunyianku.
"Fraya?!" Kak Rifan yang pertama kali menyebut namaku. Semua di sana kaget dengan kehadiranku, namun hanya Tante Diana yang dapat cepat mengubah kembali air mukanya.
"Aku nggak gila Kak," kataku dengan nada yang lebih tinggi.
"Fraya, dengar dulu," Tante Diana mencoba memberi penjelasan namun aku tidak memberi kesempatan.
"Dengar, kalian yang harusnya dengar aku. Aku sadar betul mama sudah meninggal, dia sudah mati, dia nggak akan bangun lagi. Aku sadar dan aku nggak gila, aku hanya...menghibur diri. Tante Diana, dengan kehadiran Tante, selalu terbayang mama. Tante nggak bisa menggantikan posisi mama, bahkan Tante juga yang menentang pernikahan papa dan mama.
Kak Rifan, aku kecewa sama kakak, di mana kepercayaan kakak ke aku, aku nggak gila, apa selama dua tahun di rehabilitasi narkoba itu membuat otak kakak tidak dapat mengenali aku lagi sebagai adik? Semua jahat, papa nggak ngerti aku, papa nggak ada saat aku butuh, berapa kali papa ambil laporan nilaiku di sekolah? Tidak pernah. Di mana papa saat aku meraih semua prestasi itu? Tidak ada di sampingku. Dan sekarang kalian semua mau mengatur hidupku? Kalian pikir kalian siapa?" aku terengah-engah dengan semua ocehanku barusan. Semua muka di sana menjadi tegang.
"Fraya," papa yang paling dulu angkat suara.
"Aku nggak gila pa," aku mulai menangis terisak, suaraku serak.
Kak Rifan berjalan mendekat lalu memeluk aku.
"Maaf Fraya, aku tahu kamu nggak gila. Kamu hanya shock saja dengan ini semua, aku kenal adikku."
"Lebih baik kakak kembali ke rehab saja," aku melepas pelukan Kak Rifan lalu berlari menaiki tangga dan mengunci diri di kamar. Aku tidak peduli pada ketukan berulang di daun pintu. Aku hanya menangis di atas kasur sampai aku lelah dan terlelap.
***
Matahari pagi tidak dapat menembus gorden kamarku, namun aku terbangun juga. Kepalaku sakit, aku memegangi kepalaku yang berdenyut nyeri.
Aku menuju lantai bawah, ada Kak Rifan di sana. Sebenarnya aku merasa bersalah atas ucapanku kemarin, tapi aku masih kesal karena mereka menganggap aku ini gila.
"Hai," sapa Kak Rifan pendek, agak kaku.
Aku menatapnya dalam kebisuanku. Kak Rifan menyodorkan roti isi selai nanas kesukaanku. Aku mengambilnya dan memakannya tanpa mengucapkan terimakasih. Aku makan dengan cepat dan kembali naik ke atas untuk berbenah diri.
Aku sengaja berlama-lama menghabiskan waktuku di kamar. Pintu diketuk, sebelum aku mempersilahkan, sang tamu telah memutar kenop pintu dan masuk. Aku melirik Kak Rifan yang masuk ke kamar.
Kak Rifan juga terdiam pada tempatnya. Kupikir dia akan keluar meninggalkanku sendiri, tapi dia malah mendekat dan duduk di sampingku dalam diam juga.
Kak Rifan mencoba meraih tanganku, aku menjauhkannya. Ketika iya berusaha mengelus rambutku, aku menepisnya.
Akhirnya, aku mematikan televisi dan menghempaskan tubuhku di kasur, menutup mukaku dengan bantal. Suasana yang hening, hanya terdengar deru mesin AC yang menengahi perang dingin ini. Aku mengintip sedikit dengan mengangkat bantalku. Kak Rifan tetap di sana, menatapku tanpa berkedip. Mukanya datar, lagi-lagi aku tak dapat menebak arti dari mimik itu.
Aku kembali menutup mukaku seutuhnya.
Aku sebenarnya nggak mau bertengkar dengannya. Aku sayang Kak Rifan, hanya dia alasan aku hidup saat ini. Ingin aku meminta maaf, tapi aku masih kesal. Apa kekesalanku ini terlalu berlebihan?
Akhirnya setelah lelah berkutat dengan pikiranku sendiri, aku tertidur lagi.
***

Jumat, 20 Agustus 2010

Unpredictable part 6

Aku melihat nama yang terpampang di layar handphoneku. Kak Rifan.
"Halo, Kak, ada apa?"
Papa melihatku penuh tanda tanya.
"Ya, jangan terlalu malam kak pulangnya," aku menjawab lalu memutuskan sambungan. Aku tidak ingin kakak tahu keadaan mama saat ini.
"Siapa itu?" tanya papa penuh selidik.
"Kak Rifan."
"Bagaimana kabarnya? Di mana dia?" mata papa penuh rasa ingin tahu, terselip rasa haru juga, walau kekecewaan atas masa lalu Kak Rifan itu masih belum termaafkan seutuhnya.
"Kemarin aku yang menjemputnya, tapi pagi-pagi dia sudah pergi ke rumah temannya, dengan mobilku," jelasku seadaanya, "Mungkin Kak Rifan sudah berangkat sebelum papa pulang."
"Yah memang, papa belum melihatnya, dia memang sudah pergi sebelum papa pulang," Papa menundukkan kepalanya. Pembicaraan ini terasa alot. Ugh, aku sebal. Selalu kaku dan ujungnya hanya diam saja.
"Kalau sudah selesai, ayo kita kembali ke kamar," Papa membuka mulutnya juga setelah aku menunggu beberapa menit. Yah, membuang waktu memang kalau harus tertahan di kantin pengap ini.
Ah, Jakarta, lagi-lagi kau membuat aku sedih, lagi-lagi kau membuatku tak nyaman. Lalu kenapa aku harus kembali ke sini? Semua hanya karena Kak Rifan. Tak kusangka, mama...
Kupikir mama telah pergi meninggalkan kami, kupikir dia pergi dengan laki-laki lain. Tapi ternyata, perceraian itu tidak pernah terjadi.
Aku berjalan berdampingan dengan papa, sepertinya memang sudah lama aku tidak sedekat ini dengannya.
Yah, sangat lama sekali. Juga aku tak tahu sejak kapan aku mulai tidak terlalu suka dengan papa, sebenarnya aku tidak mau membencinya, tidak mau kesal padanya, aku sayang papa, hanya saja aku bingung bagaimana mendekatinya, bagaimana mengekspresikan rasa itu padanya karena kadang bahkan seringkali aku merasa dia orang asing bagiku. Ah, entah sampai kapan aku merasa punya seorang ayah, sudah lama sekali sosok itu hilang dalam hidupku.
Aku melongokkan kepalaku ke jendela di pintu ruang rawat mama, tubuh yang rapuh itu, wajah yang pucat itu, ah, cabut saja nyawanya Tuhan agar mama tidak perlu semenderita itu.
Perlahan kurasa air hangat mengalir di pipiku. Ah, aku sudah janji akan tegar. Sudah lama aku tidak menangis. Keadaan memaksaku untuk keras pada hidup.
Kututup mata sejenak lalu berjalan meninggalkan rumah sakit ini. Sebaiknya aku pulang dan menunggu di rumah. Aku menunggu Kak Rifan saja.
***
Waktu terasa berputar lambat. Kak Rifan belum kembali juga, sudah jam sepuluh sekarang, ke mana dia?

Baru saja ingin kutelepon nomor Kak Rifan, tepat benar papa menelepon.
"Halo, Fraya, ke rumah sakit segera," kata suara papa terdengar bergetar.
"Kenapa pa?" aku memegang handphoneku erat.
"Datanglah segera," papa memutuskan sambungan.
Aku kebingunga. Kutelepon Kak Rifan, dia harus tahu keadaan mama saat ini, tak bisa ditunda lagi.
"Halo."
"Kak, ada di mana? Cepat ke rumah sakit," suaraku kutahan agar tak terdengar terlalu panik.
"Ada apa?" tanya Kak Rifan kebingungan.
"Mama, kritis."
Tak terdengar suara di seberang sana. Hening sejenak.
"Aku segera ke sana," Kak Rifan memutuskan sambungan. Aku segera mencari taksi.
Tuhan, kalau memang mama semenderita itu, ijinkan saja mama pulang ke pangkuanMu.
Sepertinya, sudah lama pula aku tidak berdoa, menyebut DIA , yang Maha Agung itu. Aku terlalu malu untuk berbicara denganNYA, dalam doaku. Tapi, kali ini saja, ijinkan aku melihat mama membuka matanya, memanggil namaku, satu kali saja, kumohon Tuhan, kalau KAU memang dengar aku, kumohon...
Air mataku mengalir deras, kali ini aku tak dapat menahan lagi.
Aku pernah merasa kehilangan mama, masakan aku harus kehilangan dia lagi setelah kutemukan bahkan kurang dari 24 jam.
Aku berlari menyusuri koridor, aku bahkan tidak peduli teguran beberapa perawat yang menyuruhku untuk tidak berlari atau tatapan orang-orang. Tahu apa mereka di posisiku? Tahu apa mereka tentang perasaan kehilangan?
Papa telah duduk menundukkan kepala dan menutup mukanya dengan tangannya.
Oh tidak, itu posisi yang biasa ada di sinetron kalau orang yang ditunggu itu... Oh, tidak, jangan, jangan, jangan sekarang, kumohon.
"Pa," kupanggil papa, kusentuh pundaknya.
"Fraya, duduklah," suara papa dipaksakan tenang, tapi terdengar sengau. Aku patuh, kududuk disebelahnya dan papa merangkul pundakku.
"Tabah yah Ya, mama sudah tenang sekarang, dia tidak akan merasa sakit lagi."
"Maksud papa?" aku bertanya pertanyaan yang tak perlu, aku bertanya hal yang kutahu jawabannya dan aku bertanya pertanyaan yang tidak ingin kudengar jawabnya.
Papa menunduk, aku langsung meloncat bangkit berdiri dari kursi.
"Di mana mama sekarang?" aku mulai berteriak histeris. "Di mana mama sekarang?"
Tepat saat itu Kak Rifan datang, entah dari mana dia tahu keberadaan kami, mungkin dia bertanya pada suster penjaga.
"Fraya," suara Kak Rifan mengalihkan perhatianku dari papa, aku berlari memeluknya.
"Sudah terlambat, aku dan kakak nggak punya kesempatan lagi untuk dengar mama memanggil nama kita, untuk mama melihat kita berdiri di sisinya," aku berbisik lemah, rasanya sangat lelah.
Bahu Kak Rifan langsung lemas, kulihat wajahnya memerah, dan bibirnya pucat.
"Kak," panggilku.
"Di mana mama?" tanya Kak Rifan, tapi pandangannya tidak mengarah padaku, tapi pada papa yang kini sudah berdiri dan berjalan kemari.
"Dia di ruang jenazah, sedang dimandikan."
Aku mengikuti langkah kaki panjang Kak Rifan yang berjalan cepat, aku harus berlari kecil untuk menjajari langkah kakinya.
Pintu ruang jenazah dibuka, kami segera masuk, dan bau formalin yang memuakkan, bau kematian, aku benci.
Kulihat mama terbujur kaku di atas ranjang besi yang dingin, sedingin tubuhnya. Pasti karena dinginnya logam itu merasuk ke tubuh mama yang membuat badan mama dingin. Mama tidur dengan kedinginan. Tapi mama memakai selimut putih yang bersih, ah mungkin selimut itu terlalu tipis untukknya.
Kak Rifan telah menghampiri mama dan aku masih terpaku melihat sekeliling.
Kenapa mama mau tidur dengan orang-orang lain itu. Wajah mereka buruk, putih pucat, dan mereka bau.
Perlahan kumendekat.

Selasa, 17 Agustus 2010

Unpredictable part 5

Suara ribut di bawah membangunkanku. Kulirik jam di dinding bagian kanan, jam setengah delapan pagi. Ugh, masih terlalu awal untuk ribut di pagi hari.
Kepalaku berdenyut sakit, mungkin sarafnya tegang karena langsung tersadar dari alam mimpi.
Aku langsung cuci muka dan gosok gigi.
"Siapa sih ribut-ribut jam segini?" aku menggerutu sendiri sambil menuruni tangga masih dengan piyama kelinciku.
"Kak, kok berisik banget sih? "
Belum mencapai anak tangga paling bawah, langkahku terhenti.
"Halo, sayang, kapan kamu pulang? Papa nggak lihat mobil kamu."
Aku tidak menggubriskan omongan papa, mataku tertuju pada sosok wanita yang berdiri berhadapan dengan papa dan denganku saat ini.
"Mama?!" aku terkejut dengan kehadirannya.
"Bukan sayang, kamu salah paham, ini bukan mamamu," kata Papa masih menatapku, tapi perhatianku telah tersita pada wanita yang kupanggil mama itu. Aku mengerjap dua kali dan menarik nafas.
"Aku tahu kalian sudah pisah, tapi dia tetap mamaku,pa."
"Papamu benar nak, saya bukan mamamu," terdengar suara wanita itu dari bibirnya yang tipis.
Aku semakin tidak mengerti. Kuamati wanita itu dari atas sampai bawah.
Postur tubuhnya yang ramping, warna mata yang hitam legam, hidungnya yang mancung, dan bibir tipisnya yang diolesi lipstik, pakaiannya yang rapi dan dari tempat aku berdiri dapat tercium wangi parfum yang mahal. Aku seperti melihat pantulan diriku sendiri, hanya sedikit lebih tua.
"Mama, kejam! Aku nggak dianggap anak lagi?" aku menahan tangisku. Kepalaku semakin berdenyut karena otakku dipaksa bekerja ekstra. Aku mendekat dan memeluknya.
"Aku kangen ma," kataku. Wanita itu membalas pelukanku singkat lalu buru-buru melepaskannya.
"Dengar, mamamu..."
"Kau mamaku," bantahku memotong kalimatnya.
"Sudah kubilang, mamamu bukan aku. Mamamu sedang sekarat," nada suaranya pelan dan raut mukanya datar.
"DIANA, CUKUP!" Papa memukul keras meja kaca ruang tamu hingga kaca itu memperlihatkan retakan-retakannya.
"Diana?" aku mengulangi nama yang diucapkan papa. Suasana hening, ini kesempatanku berpikir.
Mamaku bernama Dina, bukan Diana. Jadi, siapa orang yang mirip dengan mama ini? Siapa dia?
"Yah, aku keliru rupanya. Kau memang bukan mamaku, jadi siapa kau?"
"Aku kakak kembaran mamamu."
"Dan apa kata tante tadi? Mamaku koma?"
Tante Diana mengangguk.
Aku tertawa, "Tante lucu sekali. Tante tiba-tiba datang dengan penampilan mirip mama, mengaku kembarannya, dan sekarang mengatakan dia meninggal? Haha, ada apa ini? Sandiwara atau jebakan apa ini? Mana kamera tersembunyinya?" aku mulai histeris sendiri, tertawa lalu menangis. Dan aku menangis dibalik tawaku.
Papa memeluk tubuhku yang berguncang karena isak tangis.
Tante Diana memandang dengan iba, tapi tidak melakukan gerakan apapun.
"Sekarang di mana mama?" tangisku mulai reda dan aku sangat berusaha untuk berpikir normal.
"Masih di rumah sakit."
"Tunggu aku."
Aku bergegas kembali ke kamar, mengganti pakaianku dengan kaos dan jins yang kuambil asal-asalan, rambutku kuuncir tanpa kusisir dan langsung menuju ke bawah lagi.
"Ayo kita ke rumah sakit."
Papa dan Tante Diana berdiri dari tempatnya dan berjalan menuju mobil sedan hitam yang terparkir di depan pagar. Mobil melaju meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam dan membersihkan mataku yang sembab.

***

Aku mengikuti langkah kaki Tante Diana di depanku. Sementara papa terlihat sedikit pucat. Raut wajahnya yang biasa ceria, seperti ditelan kecemasannya sendiri.
Aku harus memakai baju khusus di ruangan khusus yang aku tahu itu ruangan ICU, ruangan yang sebenarnya paling aku hindari.
Aku menelan ludah dan menggigit bibir bawahku kuat-kuat hingga terasa perih.
"Ma," desahku pelan.
Mama terlihat lemah, kulitnya yang memucat dan tangannya yang terkulai tak berdaya di samping tubuhnya yang juga terlihat begitu rapuh.
Aku keluar dari ruangan itu, diikuti papa, tapi tante Diana masih tetap berdiri di tempatnya. Matanya yang menyorotkan kesedihan tidak bisa berbohong.
"Pa, sebenarnya mama kenapa bisa sampai begitu? Dan tolong jelaskan tentang Tante Diana."
"Kita makan pagi dulu," ajak papa yang langsung kuiyakan.
Aku sebenarnya malas makan di kantin rumah sakit, malas di ruangan ini. Karena bagiku, di sini memang ada harapan, tapi juga bau kematian.
Sementara papa memesan makanan, aku menuju toilet.
Membasuh mukaku dan merapikan rambutku karena terburu-buru tadi. Mataku sedikit bengkak.
Aku tak menyangka, kemarin terasa begitu bahagia bersama kakak, kemarin terasa begitu tak nyata.
Aku menuju meja di mana papa menungguku sambil menatap menerawang.
"Ayo makan," kataku sambil mengaduk mie di hadapanku dan memakannya dengan lahap. Aku memang lapar dan aku stress.
Papa melihatku sebentar, tersenyum lalu memakan mie di hadapannya dengan tempo yang lebih pelan.
Aku kira aku yang akan menunggu papa selesai, tapi ternyata papa yang selesai lebih dulu.
Setelah meminum teh hangat dengan beberapa kali teguk, papa memulai pembicaraan kita dengan mendeham sekali.
"Mungkin memang sudah saatnya. Kau sudah besar Fraya. Papa harap kumengerti." Papa menarik nafas sekali lalu melanjutkan ceritanya, "Sebenarnya, saat kita pindah ke Jakarta, itu untuk kepentingan mamamu. Mama sudah mengidap penyakit kanker stadium lanjut dan kami berusaha mencari pengobatan di Jakarta. Akhirnya, atas saran Tante Diana, mamamu selama dua tahun ini berobat ke singapore, tapi keadaannya memburuk dan mamamu meminta untuk kembali ke Jakarta saja karena dia tidak mau membebani siapa pun. Dan tadi subuh, tiba-tiba mamamu jatuh dan tidak sadarkan diri. Ah, Dina, Dina, dia terlalu baik untuk mengalami ini semua."
"Kenapa aku baru dikasih tahu sekarang? Dan, kenapa dari dulu sampai sekarang nggak ada yang menyinggung soal Tante Diana yang ternyata kembaran mama?"
"Karena pernikahan kami sebenarnya ditentanh, tapi kami nekat, akhirnya keluarga mamamu memutuskan hubungan dengan kami. Mengertilah Fraya, papamu ini dulu bukan orang yang mampu."
"Untuk itu, kalian bekerja terus sampai melupakan kami, hanya untuk mendapatkan pengakuan?!" nadaku sedikit melengking.
"Fraya," pembicaraan kami terpotong oleh dering handphoneku.

Unpredictable part 4

Aku melajukan mobil kembali ke Jakarta. Aku harus menemui orang itu, harus! Hari ini, tepat dua tahun setelah semua kenangan yang tidak mengenakkan itu terjadi.

***

Kulihat senyum di wajah orang itu. Ah, dia memang tampan, persis seperti orang yang kusayang. Dia menatapku lalu tersenyum, aku pun membalas senyumannya seraya melambaikan tanganku. Kupercepat langkah kakiku menyongsong dia yang juga berjalan ke arahku. Kupeluk dia. Tidak berubah wangi parfumnya.
"Aku kangen," kataku manja.
Dia membelai rambutku lembut. Aku tersenyum.
"Dua tahun ini berhasil yah," aku berkata lagi. Dia mengangguk lalu tersenyum.
"Mau ke mana kita?"
"Lebih baik kita pulang dulu, aku kangen banget sama rumah."
Aku menyetujui permintaannya. Posisi kemudi digantikan olehnya.
"Gimana keadaan rumah?"
Aku menggeleng, "Aku juga tidak tahu, sejak setahun lalu aku nggak pulang-pulang."
"Memang kamu ke mana?"
"Aku kuliah di luar Jakarta, malas aku di sini. Kalau nggak jemput kakak aja nih, aku nggak pulang," jelasku panjang lebar. Rifan, nama kakakku tersenyum. Sudah lama sekali aku tidak melihat senyum itu. Yah, bukan dua tahun yang lalu, tapi jauh lebih lama.
"Aku sungguh kangen banget sama kakak," kukatakan itu dari lubuk hatiku yang terdalam.
Rifan tersenyum, memandangku dan mengelus kepalaku sekilas lalu memandang lagi ke jalan.
Aku senang, setidaknya saat ini aku tidak sendiri lagi. Yah, saat ini. Kugigit pelan bibir bawahku menahan agar air mataku tidak keluar.

***

Seperti biasa, rumah kosong. Aku yang tidak membawa kunci, begitu pula kakak, karena kunci rumah ini sengaja aku simpan. Aku mengecek di atas tiang pintu, ada, seperti biasa. Papa atau mama memang sudah terbiasa menaruh kunci di sana, sejak kami kecil. Yah, tentu, mereka terlalu sibuk dengan dunia karier mereka sendiri.
Rifan langsung masuk dahulu, melihat-lihat keadaan rumah dan menyentuh beberapa benda dengan hati-hati, tersenyum kecil lalu meletakkannya kembali.
Aku memperhatikan tingkahnya dari sofa. Aku tidak merasakan kangen sedikitpun pada rumah ini. Rasa itu sudah lama terlupakan.
Rifan menaikki tangga menuju lantai atas, tempat kamarku, dan kamarnya, dulu.
Aku melirik ke jam tanganku. Pukul lima sore.
Sebentar lagi makan malam. Kuangkat pantatku dari sofa yang empuk itu, melangkahkan kaki ke dapur. Kubuka kulkas yang besar itu, bahan makanan yang terbilang banyak untuk satu orang.
"Pasti papa bereksperimen lagi, seperti biasa," gumamku sendiri.
Aku mengambil beberapa wortel, kental, kol, dan sosis, nugget, ayam beku.
Aku membuat sop sayur dan makanan instan saja, pikirku.
Rifan belum juga turun sampai aku selesai memasak. Papa juga belum pulang, seperti biasa.
"Kak, ayo makan," teriakku dari kaki tangga. Namun, kutunggu langkah kaki, tidak terdengar juga. Akhirnya aku memutuskan untuk menaiki tangga menyusul Rifan.
Kubuka pintu kamarnya, tidak ada. Sejenak aku terpaku, kamar Rifan tidak pernah aku masuki sejak dua tahun lalu, ternyata tertata rapi dan tak berdebu. Lalu kubuka pintu kamarku.
Kulihat Rifan sedang asik dengan album foto dan laci ku dibiarkannya terbuka. Sama dengan kamar Rifan, kamarku tetap persis sebelum aku meninggalkannya setahun yang lalu.
"Kak, ayo makan," kuulangi teriakanku tadi, tapi dengan nada pelan. Rifan menengok, dia tidak menjawab malah melambaikan tangannya mengajak mendekat lalu menepuk pelan lantai kosong di samping tubuhnya. Aku menuruti permintaannya.
"Lihat Ya, ini waktu kamu kecil, lucu banget, mirip sama mama. Terus lihat, ini papa waktu masih muda, masih kekar, sekarang perutnya membuncit. Kalau aku tua, aku buncit juga nggak yah? Ya, Ya, lihat lagi nih, ini kan gebetan aku waktu SD, senang betul aku waktu dipilih jadi pangeran dan dia jadi putri di drama perpisahan sekolah. Pasti dia cantik sekarang,..."
Aku hanya tersenyum melihat antusias kakak mengenang masa lalunya. Sesekali aku mengangguk mengiyakan pernyataannya.
Sudah satu jam kami di sini, dan Rifan masih semangat membahas foto-foto itu.
"Kak, ayo makan, aku sudah masak, nanti keburu dingin."
Rifan mengangguk, menutup album foto yang besar dan berat itu.
Aku melihat sampulnya yang keras itu, tergambar sebuah keluarga, terdiri dari ayah, ibu, kakak lelaki dan adik perempuan kecil, dua saudara itu saling bergandengan dan kedua orangtua itu memiringkan kepala mereka masing-masing ke arah yang berlawanan sehingga kepala mereka menyatu, dan bibir mereka melontarkan senyum kebahagiaan.
Ah yah, gambaran keluarga yang harmonis, tapi itu hanya gambar, hanya sebuah gambar yang tidak nyata, dan tidak akan pernah menjadi kenyataan di keluarga ini.
Aku melingkarkan lenganku di lengan Rifan sambil menuruni tangga bersama.
"Ya, besok aku pinjem mobil yah, mau berkunjung ke rumah temen-temen aku," Rifan membuka pembicaraan di meja makan. Aku mengangguk sambil menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutku.
"Mau ditemenin nggak?" aku malas di rumah ini.
"Aku sendiri aja deh."
"Tersesat nggak nanti?" ledekku.
"Ah kau ini dek, aku kan bukan amnesia." Kami sama-sama tersenyum. Setelah selesai, aku membereskan meja makan ini sendiri sedangkan Rifan memainkan game di kamarnya. Entah bagaimana, semua barang di kamar kami masih baik kualitasnya. Aku menyusul ke lantai atas, dan menuju kamarku.
Hem, apa yah yang mau aku lakukan sekarang?
Aku melihat koleksi DVD ku yang tertata rapi seperti ketika aku tinggal, sesuai urutan abjadnya.
Aku memilih cerita detektif tentang pembunuhan yang hasilnya aku tegang sendiri.
Aku mematikan film itu dipertengahan.
Aku menuju kamar Rifan, memutar kenop pintunya pelan, tidak terkunci. Kubuka pelan pintu kamarnya yang tidak mengeluarkan suara derit, terlihat Rifan sudah tertidur pulas. Padahal, sekarang baru jam sepuluh kurang lima menit.
Aku menuju lantai bawah dan memeriksa pintu, yang ternyata belum dikunci. Aku mengunci pintu itu lalu kembali ke kamarku.
***

Jumat, 13 Agustus 2010

Unpredictable part 3

Kulajukan mobilku dengan kencang di jalan raya yang lenggang. Dini hari ini berhawa sejuk, mungkin bisa dibilang dingin.
Kubuka kaca jendela membiarkan angin menerpa wajahku. Segar. Udara kebebasan.
Aku tersenyum menatap bayangku sendiri di kaca spion dalam mobil.
Dapat kubungkam semua mulut dan kuubah senyum ejekan mereka semua jadi decak kagum.
Yah, kuraih kemenangan telak. Ujian akhir sekolah maupun nasional mendapat peringkat satu. Beasiswa ke universitas negeri favorit di Indonesia sudah ada di tanganku. Dan minggu depan, semua akan berubah. Aku bisa kuliah, dan kutinggalkan Jakarta. Kota yang kubenci selama 7 tahun ini.
Kuinjak pedal gas kuat-kuat. Angin makin menerpa tajam mukaku. Agak perih mataku, tapi aku tak peduli. Ini saat-saat terkahirku meninggalkan kota ini.

***

Ah si Yudha cari gara-gara lagi. Kali ini keterlaluan. Minggu lalu bajuku ditumpahkan kuah soto, untung tidak terlalu panas. Kemarin ban mobilku dikempesin. Sekarang tugas artikelku dihilangkan, padahal deadlinenya besok. Tugas yang telah kukerjakan tiga hari, mana mungkin kuulang mengerjakannya.
Ugh.
Kucari Yudha di seluruh kampus. Kutanyakan teman-teman yang biasa nongkrong dengannya. Beberapa menjawab dengan bingung karena melihat raut wajahku yang kutekuk.
"Dia di pohon rambutan."
Kupercepat langkah kakiku menuju tempat yang diinfokan si Baim.
Dari jauh kulihat dia sedang tertawa terbahak-bahak dengan teman-temannya yang juga konyol itu.
Ugh aku menahan dongkol.
"Balikin tugas saya!" kataku masih mengendalikan emosi.
Semua mata kini menatap aku, dan suara tawa berubah hening. Yudha menatapku sejenak kemudian melanjutkan omongannya. Tapi teman-temannnya tidak menanggapi, tapi tetap menatap aku. Aku tidak peduli, terus kutatap Yudha dengna tatapan menantang dan marah yang akhirnya Yudha menatap aku juga.
"Mau apa lo gunung es?" katanya santai, seperti biasa dengan 'panggilan' anehnya untukku tiap hari.
Kenapa aku harus satu universitas terlebih satu fakultas dengan dia? Menyebalkan.
"Balikin tugas saya!" kataku sekali lagi dengan nada yang sedikit kurendahkan dari sebelumnya, tapi tetap saja terdengar tinggi.
"Tugas apa? Ngaco lo! Mana gue tahu tugas lo di mana. Kok jadi nyalahin gue?" jawabnya santai.
"Jangan bercanda Yud, besok tuh tugas mesti dikumpul!"
"Santai aja lagi."
BUK.
Aku tidak bisa menahan emosi ku lagi. Kurasakan tulang jarinya memar, berdenyut nyeri. Yudha memegang pipinya yang memerah.

Aku langsung meninggalkan mereka semua yang terkaget-kanget akan reaksiku yang juga refleks itu. Mukaku merah padam.
Suasana sore yang sebenarnya indah itu, terlihat sepi. Jadi nggak ada yang melihat kejadian itu.
Aku mempercepat langkahku menuju kost tempat aku tinggal.

Unpredictable part 2

Aku menutup pintu dibelakang pundakku. Kubiarkan tubuhku merosot dibalik pintu itu. Aku menangis. Meratapi nasib. Yah. Makan malam yang dingin. Sedinginnya malam. Dan kutemukan aku tetap dalam kesendirianku.

Dulu, rumah ini begitu hangat, begitu menyenangkan. Dengan mama dan papa yang rukun. Ah, kuingat kembali kisah pertemuan mereka. Mama si pramugari cantik akhirnya bertemu dengan papa si koki professional di pantai saat mereka berlibur. Menurutku pertemuan mereka itu rencana Tuhan.
Tapi apakah perpisahan mereka itu juga rencana DIA? Ataukah keputusan egois manusia, mama dan papa?

Aku bertanya dalam hati. Kukutuki mereka yang melahirkan aku ke dalam dunia yang nista ini. karena tindakan mereka yang tidak bertanggung jawab, tindakan egois.

HEY! Aku ada di dunia ini, dan kalian meninggalkan aku?
Dasar mama…
Aku tersenyum sendiri.
Dasar Fraya bodoh! Untuk apa meratapi nasib? Untuk apa menyesali.
Waktu yang telah berlalu tidak dapat diputar kembali. Sekaranglah waktunya yang ku miliki.

Aku bangkit dari dudukku. Kakiku berasa senyar. Kupaksakan bergerak menahan rasa itu. Kurebahkan pundakku yang sedari tadi tegang.
Apa rencanaku kabur akan kulakukan?
Ah, jangan. Tunggu saja sampai kelulusan nanti, sampai aku kenyang akan cemoohan semua teman-teman busukku di sekolah sampah. Hanya menjual nama saja, di mana mereka guru-guru yang makan gaji buta itu mengajarkan akhlak? Atau orangtua mereka yang tidak bermoral?
Setelah semua ini, aku akan menjalani hidup baru. Sendiri lagi. Menjadi Fraya baru.
Fraya yang lama adalah mati.
Kutunda rencanaku sampai tiba waktunya, waktu yang tepat untuk aku berontak. Melawan hidup ini. Melawannya dan tidak tunduk padanya.
Kupejamkan mata dan kuterbang ke dunia mimpi. Dunia khayal tanpa beban, tanpa rasa sakit, tanpa rasa sepi.

Selasa, 10 Agustus 2010

Unpredictable part 1

Aku menutup mulutku. Kuhempaskan saja tas ku di lantai kamar. Kututup pintu dibelakangku.

Aku ingin kabur, batinku.

Kulirik tabungan di rekening bank pribadiku yang selama ini kukumpulkan secara rahasia.
Hem, nominalnya tidak terlalu banyak, tapi cukuplah untuk aku bertahan hidup selama tiga bulan.
Kubuka pintu lalu mandi. Aku tetap bungkam.
Setelah mandi lalu belajar, dan sambil belajar kupikirkan strategi.
Bisa kubawa kabur saja kendaraan di rumah, untuk tempat tinggal, aku bisa menginap di rumah teman. Seminggu mungkin, secara bergilir.
Kulirik jam di dinding.
Jam delapan kurang lima. Tak ada yang mempedulikan aku. Semua mengganggap diam ku ini hal yang biasa.
Oh yeah, mungkin memang temanku buku. Mungkim semua cemoohan temanku di sekolah tentang aku ini anak yang sok rajin, si antisosial, kutubuku yang aneh, dan lain-lain adalah benar.

Aku lelah akan dunia ini.

Andai saja papa tak perlu pindah ke Jakarta ini.
Aku nggak perlu meninggalkan semua hal yang sudah menjadi bagian hidupku lima belas tahun.
Dan sekarang aku harus memulainya dari awal lagi di kota yang rasa egoisnya tinggi?
Uh, dari batukah hati manusia itu?
Kupukul meja belajarku. Telapak tanganku langsung berdenyut merasa sakit.
Ah, andai saja mama ada di sini.
Aku nggak akan kesepian, dicemooh. Andai dia nggak tergoda sama laki-laki lain.
Ah, andai andai? Tapi inilah faktanya. Ini dunia dan ini nyata. Nggak perlu berandai-andai lagi. Cukup.

Ayo Fraya, berpikir realistis.

Kututup buku, temanku itu, saat papa masuk kamar dan menyapaku.
"Halo sayang, ayo makan malam dulu." Papa membelai lembut rambutku yang kubiarkan terurai, mengombak di pundakku.
Aku mengangguk, aku menurut mengikuti langkah papa.
Kulingkarkan kedua lenganku di lengan papa yang sedikit berotot.
Ah, papa pekerja keras.
Makanan yang terlihat nikmat langsung membangkitkan semangatku untuk melahap habis semua yang terhidang. Inilah salah satu keahlian papa yang lain, memasak.
Ah, mungkinkah ini yang terakhir bisa kucicipi semua kelezatan di mukaku ini?
Berat hatiku meninggalkan papa seorang diri.
"Kok bengong? Ayo makan."
Kupaksakan senyumku lalu kumakan sesuap nasi dan kutelan dengan payah.

Ah, kalau kutinggalkan papa, aku nggak ada bedanya dengan mama, batinku bersuara.