Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Kamis, 08 Desember 2011

Ada Ayah


Suatu hari ayah mengajakku ke sebuah taman bunga yang indah. Banyak bunga warna-warni terhampar di sana. Merah, kuning, pink, ungu, putih, kuning, semua ada. Bentuknya unik-unik. Ada yang lonjong ada yang bulat, tangkainya ada yang panjang ada yang pendek. Semuanya menarik hatiku untuk menyentuhnya, memegangnya, serta mencium aroma dari masing-masing bunga.
Saat itu aku memakai jubah putih berlengan panjang dan bawahnya sampai menyentuh tanah panjangnya, dan polos pada semua sisi yang lain, tanpa gambar, putih bersih. Aku berputar-putar sambil merentangkan tangan diantara bunga-bunga yang sepertinya ikut menari bersamaku akibat buaian angin. Ke kanan dan ke kiri. Aku tersenyum dan sepertinya bunga-bunga itu juga tersenyum ke arah-ku.
Ayah hanya mengamati tingkah laku-ku saja dari bangku taman yang ber-cat putih juga. Ayah memakai terusan putih juga, dari atas ke bawah tak ada sambungannya, bersih sekali kelihatannya. Ayah mengangguk sesekali ketika kulambaikan tangan. Ayah tersenyum ketika aku menari-nari dan tertawa riang melihat bunga-bunga di taman itu.
Tiba-tiba, ayah berdiri dari bangku taman itu, lalu berjalan mendekat ke arahku. Aku pun menghentikan aktivitasku sejenak dan menunggu apa yang kira-kira akan ayah lakukan selanjutnya. Ayah mengulurkan tangannya minta disambut oleh tanganku, aku pun memberinya sesuai harapannya. Lalu kami bergandengan tangan, ke arah luar dari taman. Ayah terdiam saja tanpa sepatah kata-pun dari mulutnya. Aku mencoba berkata-kata, tapi tak ada sesuatu pun yang dapat kuucapkan dari bibirku. Jadi kami hanya berjalan dalam keheningan. Hening yang damai, hening yang membawa sukacita dan ketenangan.
Aku mencoba memandang wajah ayah untuk mencari tahu apa yang akan ayah lakukan selanjutnya. Tapi aku tak dapat melihat wajahnya, terlalu berkilau. Mungkin karena cahaya dari belakangnya sehingga aku tidak dapat melihat wajah ayah yang aku yakin tampan itu. Jadi, aku kembali berdiam diri saja sambil terus berjalan dan kini sudah meninggalkan taman.
Suasana sejuk tadi berganti dengan kehangatan yang kian lama kian menjadi panas. Aku memandang sekeliling dan seketika pemandangan berubah menjadi padang gurun yang gersang, kering, dan panas. Tak ada bunga-bunga tadi, yang ada hanya hamparan pasir berwarna coklat terang ditimpa cahaya matahari yang seolah tak pernah padam. Hembusan angin kering hanya membawa hawa panas yang kian membuat kerongkonganku serak karena kering. Sepi. Aku tak suka ini.
Ayah melepas gandengannya dan mulai berjalan di depanku. Aku bahkan belum sempat bertanya padanya, ada apa ini? Apa yang sedang terjadi? Dan mengapa ayah membawa aku ke tempat seperti ini? Aku tidak suka. Ayah tahu itu, ayah merasakan hal itu. Ia hanya menoleh dan mengisyaratkan padaku untuk berjalan mengikutinya. Aku memandangnya, lama. Lalu aku memutuskan untuk ikut berjalan mengikutinya, menyusuri setapak demi setapak langkah yang telah dibuat oleh ayah. Aku percaya pada ayah. Dia ayahku yang baik, dia ayahku, itu kenyataannya. Tak ada siapapun di padang gurun ini, hanya ada aku dan ayah. Walau aku takut, walau ada bahaya sekalipun, aku tahu dan yakin, ayah-lah yang akan menolongku.
Aku berjalan mengikutinya tanpa bicara. Beberapa kali kami harus melewati kumpulan kaktus, kadang kami harus berhenti sejenak untuk bermalam. Malam yang dingin. Hanya pasir yang menjadi alas tidur kami dan langit yang menjadi tenda-nya. Aku menggigil tiap malam dan kepanasan tiap siang. Ayah terus berjalan. Aku mulai bertanya, ke mana ayah akan membawa aku? Tapi aku tetap saja mengikutinya tanpa mengeluarkan kata-kata untuk bertanya padanya.
Suatu hari, kami bertemu dengan seekor singa gurun. Aku takut, aku ingin melawan, tapi bagaimana ini? Aku tak sekuat singa itu kurasa. Singa itu kelaparan. Aku tahu, singa itu menjadikan kami target santapannya. Tubuhnya sudah mengurus, kulitnya mengkerut menyembulkan tulang-tulangnya. Aku mencoba memandang sekeliling. Tak ada bantuan. Hanya aku. Singa itu berjalan mendekat ke arah-ku. Aku takut. Tongkatpun tak ada dalam genggamanku. Ingin aku berlari, tapi kakiku serasa membatu.
Singa itu berjalan perlahan tapi pasti. Kemudian tiba-tiba, hap! Dia meloncat hendak menerkam aku. Aku memejamkan mata dan pasrah. Aku menunggu tubuhku rebah dan menunggu  dan membayangkan kulitku robek lalu mengeluarkan darah. Tapi semua itu tidak terjadi. Ketika masih dengan takut-takut aku membuka mataku, singa itu sudah tergeletak tak bergerak. Aku memeriksanya dengan seksama yang ternyata singa itu sudah mati. Aku melihat ayah di sisi sebelah bangkai singa itu.
Seketika aku menangis. Aku lupa dengan siapa aku berjalan. Aku lupa aku tidak sendirian. Ada ayah di depanku. Dia yang memimpin perjalanan ini. Bukankah aku mengikuti setiap langkahnya? Yah, aku menyesali kebodohanku. Sejenak tadi aku sempat takut kalau-kalau aku mati. Sejenak tadi aku sempat berpikir bahwa hanya ada aku sendiri tanpa pertolongan siapapun. Tapi tidak! Ayah hadir saat di mana aku memerlukan pertolongan. Tepat sekali waktunya. Dialah satu-satunya penolongku.
Lalu ayah memandangku dan tersenyum seolah berarti, “Aku di sini, jangan takut. Aku-lah yang bertanggung jawab atas dirimu, menolongmu, melindungimu, dan menjagamu selalu. Percayalah padaku, aku akan selalu besertamu.”
Aku terhenyak dan menangis lebih kencang. Aku menyesal. Senyum ayah bukanlah mengartikan, “Kau sih tidak percaya kepadaku. Kau lupa kalau ada aku?”
Ayah tidak menyalahkan aku, ayah bahkan seolah tak ingat aku telah melakukan kesalahan. Padahal aku yakin, ayah pasti tahu kalau tadi sejenak aku melupakan dirinya. Tapi ayah tak membahasnya. Ayah berbalik dan berjalan kembali. Aku pun mengikuti langkahnya. Saat ini, hatiku lebih tenang, aku merasa aku aman, aku merasa aku berjalan di jalan yang tepat bersama dengan orang yang tepat juga. Lalu kami meneruskan perjalanan kami.

Rabu, 28 September 2011

Di mana Mike?


Seorang laki-laki kecil bernama Mike tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran suatu kota. Suasananya tenang dan damai. Tiap pagi kesejukan dari tetesan-tetesan embun membuat daun-daun lebih berseri-seri. Danau kecil di belakang rumah Mike tampak seperti cermin raksasa bila terpantul sinar sang surya yang merajai pagi. Tiap pagi, Mike selalu bangun lebih awal. Suatu hari ibunya  bertanya, “Kenapa kamu bangun pagi-pagi, Mike?”
“Aku mau berlomba dengan matahari, Bu dan aku menang!” serunya semangat.
Tiap pagi, ayahnya selalu pulang dari menjala ikan. Mike selalu menyambut ayahnya dengan sebuah senyum.
“Hai, ayah. Mari kubantu,” katanya sambil tersenyum, kedua tangannya yang mungil menjulurkan siap memberi bantuan. Sang ayah selalu tersenyum lalu mengelus rambut anak semata wayangnya yang sangat disayanginya itu. Segala rasa lelah di badannya akibat terpaan angin malan tak terasa lagi.
“Mari pulang,” ajak ayahnya menggandeng jemari anaknya yang mungil, tak peduli lagi betapa sedikitnya hasil tangkapannya hari itu atau di hari lain betapa tak ada hasilnya usaha yang dilakukan sang ayah, ayah tetap berjalan riang ke rumah kecil mereka.
Ibu selalu menanti di rumah untuk menyambut ayah, bahan apa yang ayah bawa untuk mempersiapkan makan nanti malam. Tapi, ibu harus menerima bahwa ayah pulang dengan tangan hampa kali ini.
“Yah?” tanya ibu dengan wajah bingung sambil memberi isyarat apakah ada yang ayah bawa.
Ayah menggeleng lesu, namun dipaksanya seulas senyum mampir dibibirnya.
“Tidak apa Bu. Ibu dan ayah jangan sedih. Kami akan ke hutan untuk memburu seekor kelinci hutan. Nanti siang kami sudah pulang dan ibu bisa mulai memasak,” hibur Mike mengelus punggung tangan ibunya.
“Yah,” kata ibu sambil tersenyum, mengelus rambut-rambut lurus Mike.
Mike dan ayah kini sudah berada di hutan. Mereka berusaha memburu sesuatu untuk dimakan. Sementara sang ayah memasang jebakan untuk kelinci hutan, Mike berjalan-jalan di sekeliling daerah hutan itu.
“Mike, jangan jauh-jauh!” teriak sang ayah dari jarak sepuluh meter, tangannya masih sibuk memilih rotan yang akan dianyam menjadi jebakan. Ini santapan malam mereka, ia tak mau mengecewakan istrinya dua kali.
“Baik ayah,” jawab Mike patuh. Mike mulai memetiki jamur-jamur liar yang biasa dibeli ibunya di pasar bila musim kemarau tiba.
“Aneh, jamur ini hanya tumbuh pada musim kemarau saja,” gumam Mike. Namun, tangannya masih memetiki jamur-jamur itu dan langkah kakinya semakin membawanya jauh dari ayahnya. Suara siul ayahnya yang menjadi tanda keberadaan sang ayah sudah tidak terdengar lagi.
“Mike!” panggil ayahnya begitu menyadarinya suasana begitu hening dan dia sudah seorang diri di hutan itu.
Tak ada jawaban. Ayah berusaha sekali lagi.
“Mike!” kali ini suaranya lebih kencang. Lagi-lagi suasana hening.
“Mike!” ayah mulai beranjak dari tempat duduknya dan mulai berjalan cepat ke arah terakhir ia melihat Mike. Langkahnya makin dipercepat, suara semak-semak beradu dengan kain membuat gemerisik semakin kencang.
Sunyi, sepi. Suara degup jantung ayah dapat didengarnya sendiri.
“MIKE!” teriak sang ayah histeris. Anaknya semata wayang, sulitkah untuk menjaganya?
Hari makin malam, cahaya makin meredup. Sudah sore menjelang malam dan sang mentari tampak masuk kembali ke peraduannya. Ayah pulang dengan langkah gontai. Sementara, ibu sudah menunggu dengan cemas di depan pintu.
“Mengapa sore sekali Yah? Bukankah janji kalian siang hari?” tanya ibu. Ayah hanya menggeleng lesu.
“Loh, mana Mike?” ibu mencoba melongokan lehernya panjang-panjang untuk melihat batang hidung anak laki-lakinya itu.
“Maaf Bu, aku tak membawa pulang apa-apa,” sesal sang ayah.
“Tak apa Yah, kita masih bisa makan nasi goreng, walau tanpa lauk tambahan,” ujar ibu.
“Bukan itu Bu...”
“Lalu mana Mike?” tanya sang ibu, ia mulai gugup.
Ayah hanya menunduk sambil menggeleng-geleng.
“Dia hilang Bu, di hutan...”
“Apa?!” ibu mulai pucat, dirasakan sekujur tubuhnya lemas.
“Bagaimana ini bisa terjadi?” ibu mulai panik.
“Maaf Bu, aku tak bisa menjaganya dengan baik. Sekarang dia pasti sendirian di hutan sana. Ayah macam apa aku ini?” ayah makin menyalahkan dirinya sendiri. Ibu hanya menangis meratapi Mike yang sekarang entah di mana. Dalam pikirannya, Mike mungkin saja jatuh ke lubang, mungkin saja dia sedang bersembunyi di goa, atau yang paling mengerikan adalah Mike dimakan binatang buas.
“TIDAK!!!” ibu berteriak sambil menangis, menelungkupkan wajahnya ke ubin dalam-dalam.
Lalu, di manakah Mike sebenarnya?

Minggu, 12 Juni 2011

Koin Terakhir


“Daddy,” seorang pria cilik bergelayut manja di lengan ayahnya. Sang ayah menoleh lalu tersenyum. Diantara kumis-kumis ayahnya yang tebal, terpancar wibawa sang ayah.
“Aku mau bola itu,” pria cilik menunjuk sebuah bola di dalam lemari kaca.
Mereka sedang berada di arena permainan. Sang anak tidak menurunkan telunjuknya yang teracung lurus-lurus ke arah lemari kaca itu.
Sang ayah memeriksa dompetnya. Tinggal empat ribu. Satu koin berharga dua ribu rupiah, masih bisa membeli dua koin lagi, pikir sang ayah.
“Ayo, kita beli koinnya dulu,” sang ayah menuju meja counter penjual koin.
Ini uangku yang terakhir, batin sang ayah.
Pria cilik menatap ayahnya senang.
Sang ayah melangkahkan kaki ke arah lemari kaca tempat permainan harus dimainkan untuk mendapatkan bola sebagai hadiahnya.
Sang ayah memasukkan satu koinnya. Pria cilik menatap penuh harap-harap cemas.
Pluk...
MISI GAGAL.
Mesin permainan menampilkan tulisan itu besar-besar.
Pria kecil tampak sedikit kecewa, bahunya turun lunglai.
“Masih ada satu koin lagi,” hibur sang ayah.
Pria cilik mengangguk, kembali semangat dan melambungkan lagi harapannya yang sejenak jatuh tadi.
Seorang pria dewasa lainnya menyerobot, memasukkan koin mencoba peruntungannya juga.
Satu koin, hup...
Pria itu kurang beruntung, nyaris sekali iya dapat. Satu kali pukulan, mesin itu akan tepat mengenai bonus, daerah yang membuat mesin menghadiahkan bola.
Pria itu mengecek kantungnya, kehabisan koin, berdecak kesal lalu pergi.
“Ayo kita coba lagi,” ajak sang ayah.
Pria kecil melihat dari kaca samping sambil berkomat-kamit.
“Semoga dapet, semoga dapet.”
Sang ayah melirik sejenak, “Semoga harapanmu terkabul, Nak,” batin sang ayah.
Sang ayah mulai memfokuskan pikirannya pada permainan di depannya. Walaupun ini hanya sebuah permainan, entah mengapa sang ayah ingin sekali memenangkan permainan ini untuk mendapatkan bola yang diinginkan anak laki-laki yang sangat disayanginya.
“Ayolah,” sang ayah menyemangati dirinya sendiri.
Hup, koin dimasukkan.
Satu pukulan.
Tak...
BERHASIL!!!
Mesin menampilkan tulisan itu besar-besar. Bola meluncur dari lubang kosong pengambil hadiah.
Pria cilik tidak langsung mengambil bola idamannya tapi malah memeluk sang ayah.
“YEAH! MAKASIH DADDY, KITA BERHASIL DADDY, KITA BERHASIL! MAKASIH,” peluk pria cilik erat. Tubuhnya yang pendek harus meraih tinggi-tinggi pinggang sang ayah.
Sang ayah tertegun sejenak lalu membelai kepala anaknya. Pria cilik bangga pada ayahnya sementara sang ayah terharu. Anaknya lebih menghargai usahanya ketimbang hasil akhirnya. Ia tak meraih bolanya terlebih dahulu tapi memeluk sang ayah.
“Ini,” sang ayah memberikan bola. Bola kebanggaan bagi pria cilik.
“Makasih Daddy,” seru pria cilik sambil memeluk ayahnya sekali lagi.
“Yeah, aku akan menjaga bola ini baik-baik,” pria cilik berjanji sambil memegang erat bola itu dan menggandeng ayahnya.

Jumat, 27 Mei 2011

Jendela


Beberapa burung telah mengetuk-ngetukkan paruh mungil mereka pada kusen jendela, berharap Jendela membukakan kacanya. Beberapa masih bersikukuh menunggu dan beberapa terbang pergi mencari jendela-jendela lain tempat mereka dapat masuk dan tinggal.
Tapi aku di sini, di sebuah dahan yang kuyakini tidak mudah rapuh, menunggu dan mengamati. Aih, sulit memang bagiku mengetahui Jendela yang satu ini. Lalu aku berpura-pura terbang mengitari jendela berkusen putih itu. Warna yang sama dengan warna buluku. Aku hinggap lalu pergi, datang dalam diam-diam lalu segera kabur. Jendela menatapku dengan heran, aku memang tak seperti burung-burung yang lain yang terlalu to do point.
Aku menggunakan strategi itu dan berhasil! Jendela menggeser sedikit kusen jendela, membiarkan buluku ditiup angin dari dalamnya. Ugh, dingin. Aku menggigil. Dia terlalu misterius. Aku mengintip sedikit ke dalamnya. Ah, hampir saja kulihat sebuah foto berbingkai perak di dalamnya. Foto seorang wanita. Aku tahu itu adalah foto seorang yang begitu berharga buatnya.
Burung bersayap abu-abu mendorongku sedikit, cemburu karena jendela membuka sedikit kusennya untukku. Hup! Jendela kembali tertutup rapat.
Ah, sial! Aku belum mengetahui siapa wanita itu. Ini gara-gara burung bersayap abu-abu.
Kenapa dia datang disaat yang tidak tepat?!
Tidak ada lain kesempatan. Tidak ada lagi tipuan yang sanggup membuat jendela membuka kusennya. Sekarang aku harus pergi, aku kehabisan waktu. Bagiku jendela berkusen putih tetap menarik perhatianku. Tapi indukku telah memanggilku kembali untuk kembali keperaduanku.

Senin, 23 Mei 2011

She's Gone


Kau datang kau pergi, kau datang lalu pergi kembali.
Mungkinkah kau sebuah sabun dalam genggamanku? Begitu licin, mudah terlepas.
Kau beri aku kesempatan memegangmu. Aku tak mampu memilikimu. Bila genggamanku terlalu kuat, aku meremukkanmu, bila genggamanku terlalu kendor, kau lepas dari genggamanku.
Ataukah kau sebuah gelembung? Membiaskan warna putih lampu menjadi tujuh warna pelangi. Setiap aku melihatmu aku tersenyum. Namun, aku tak dapat menyentuhmu. Kau begitu rapuh. Kau hilang lenyap begitu sampai di kulitku. Lalu aku kembali bersedih hati.
Atau kau segumpal busa? Buih yang bagian dari koloid? Kau kah itu? Yang dapat kusentuh, dapat kepegang, namun tak lama untuk kumiliki. Kau begitu ringan, terbang melayang begitu tertiup.
Oh, bayang-bayang, kuingin kau menjadi nyata? Akankah kau kembali pulang? Berjanji untuk tak pergi lagi?



Aku melihatmu datang, dengan sebuah senyuman. Malu-malu untuk menyapa. Kupegang dadaku, terasa berdebar keras. Aku harap kau tak merasakan getarannya. Kuharap kau tak tahu isi hatiku saat ini. Begitu kacau. Kehadiranmu membuat hidupku kembali berada di atas mesin cassino yang sedang berputar. Terasa berjudi dan aku tak senang untuk kalah, aku tak mau mengalah.
Kutatap wajahmu. Kau tak berubah. Berdiri mematung sesaat di depan pintu.
“Silahkan duduk,” kataku akhirnya. Suaraku terasa tersekat di ujung tenggorokanku. Kutelan ludah sekali untuk melicinkannya.
Aku menatap matamu. Mata yang sama dengan yang dulu, namun di mana sinarmu?
“Halo,” sapaku, “Apa kabar?” mu? Bagaimana keadaan jiwamu? Sambungku dalam hati. Aku begitu ingin memelukmu mengatakan kau akan baik-baik saja. Tapi aku tetap diam di sini, dihadapannya, hanya duduk diam bersila, diatas sebuah alas tikar.
Rumah tempat kami bertemu sepi, kami hanya bertiga, aku, dia dan empunya rumah. Di dalam kamar yang kedap ada temannya, istri empunya rumah dan anak empunya rumah.
 “Baik,” jawabnya. Suaranya masih sama, namun kecanggungan yang kudengar.
Aku ingin sekali melepas rindu dengannya, ingin bercengkrama dengan bebas. Tapi bukan itu tujuanku bertemu dengannya saat ini. Bukan menuruti keinginan dagingku, namun mengerjakan perkerjaan yang ditugaskan untukku.
Aku memulai tugasku...

Satu minggu berlalu, namun kini semua itu hanya tinggal kenangan.
Ugh, kau...
Mengapa kau harus datang, membuka luka lama dan menorehkan luka baru disaat yang bersamaan?
Luka lama itu belum kering, belum sembuh benar. Kau datang dan pergi semaumu. Akankah kepergianmu kedua kalinya untuk selamanya?
Kuyakini kau pergi untuk kembali, kembali untuk selamanya. Kuharap, ada kesempatan bagi jiwamu untuk diselamatkan. Kuharap, kau mengerti tentang apa yang kujelaskan. Kuharapkan kepadamu harapan terbaik dalam hidupmu.

Aku mengendarai motorku untuk menjemputnya, aku tahu dia pasti senang, kutahu dia menanti. Ah, kulakukan ini untuk dia. Aku mau menjadi si penurut. Aku ingin...
Tin tin
Kutekan klakson panjang. Perasaan tidak tenang membuat aku menjadi tidak sabar. Aku meneruskan perjalanan dan menunggu beberapa saat. Aku tahu berapa waktu, tenaga dan biaya pulsa yang kukeluarkan. Namun semuanya tak kuperhitungkan. Ah cinta...begitu rumit dipahami tak mudah diselami.
Gadis itu berjalan terseyum kepadaku, dia begitu terlihat penuh pura-pura. Senyum sana senyum sini. Aku tahu dia canggung. Aku tahu dia tegang, takut dan begitu kaku. Setiap langkahnya adalah keengganan. Aku tak peduli. Aku hanya harus menjalankan tugasku.
Kutekan gas kuat-kuat, melaju kencang di atas aspal. Kuharap ini segera berlalu. Cepat sampai di rumah itu. Nah, kan, sudah kutahu. Ini hanya akan membuat aku sedih. Tangis dan tawa tak dapat kubedakan. Akankah kusenang atau sedih? Melihat gadis itu bersamanya?
Aku masuk ke kamar. Menunggu sang waktu berlalu. Menunggu nasib? Ugh, aku tak suka. Aku tak suka pada keadaan ini. Aku tak suka pada pikiranku.
Aku menggeleng-geleng kuat, tertawa kuharap dapat mengusir semua keenggananku.
TUHAN, kumohon, beri aku kekuatan.
Sekarang ditelingaku, yang keluar dari bibirnya hanyalah tentang gadis itu.
Hello, I’m in here! Look at me! Please!
Aku berteriak dalam hati. Ah yah, kumerenung dalam.
Semalaman ini aku menangis, dalam heningnya malam. Esok harus kujalani. Waktu tetap berjalan tanpa bisa aku hentikan. Tak ada pengulangan. Semua harus kupertanggung jawabkan. Aku memulainya dengan suatu harapan, kuharap dapat mengakhiri dengan sebuah keyakinan. Aku mengenakan kacamataku menutupi mataku yang bengkak.
“Hai,” sapanya pagi itu. Aku tersenyum, berharap dapat mengalihkan pandangannya pada mataku. Kuharap jangan tanya tentang mataku. Yup, berhasil dan memang sepertinya mataku tidak menarik.
Yang ada di pandangannya hanyalah gadis itu. Aku marah, aku cemburu dan aku frustasi. Aku sedih, ini menyedihkan. Tragis? Benarkah?
“Dia pergi,” katanya singkat. Aku mengangguk mengerti.
Sekarang aku bingung, apakah aku senang atau sedih. Aku tahu tugasnya menjaga jiwa gadis itu. Gadis itu pergi dan dia melepaskannya tanpa bisa ia cegah. Hanya ucapan selamat tinggal.
Aku mengambil sikap. Hei, bukankah aku telah akil balig? Seharusnya aku mengerti, seharusnya tidak ada kata terlambat. Seharusnya aku lebih dewasa mengambil sikap dari awal.
Ah.
Aku sedih, kutahu hatinya tersayat. Kutahu bayang-bayang itu masih mengikutinya. Seberapa pun ingin ditepisnya, seberapa pun keras usahanya meyakinkanku bahwa ia baik-baik saja.
Tapi setiap nama gadis itu disebut, hanya nada lirih, kesedihan yang kurasa. Dia tidak meratap, namun menangis dalam diam. Aku tahu. Dia mencoba tegar, ia mencoba membangun lagi. Namun, akhirnya tidak sesuai yang diharapkan. Aku tak mengatakan ia gagal. Belum! Terlalu dini untuk menyerah.
Namun, kami harus menerima kenyataan. Gadis itu telah pergi dan itu keputusannya.

Senin, 16 Mei 2011

TUHAN, Tolong...


Sebenarnya, untuk menulis setiap satu kata di cerita kali ini seperti tiap sayatan pisau yang mengiris hati.
Setiap ketikan hanyalah seperti tetesan air mata di pipiku yang nggak bisa berhenti mengalir biar kuhapus berkali-kali.

Aku mencintai dia, hanya dia yang kucinta. Belum pernah kutemukan seseorang seperti dia.

Tiap kali di benakku, aku ingin selalu bersama dia, melewati hari demi hari dengannya dan menghabiskan waktuku bersama dia. Tapi kenyataannya nggak bisa. Nggak pernah bisa, sampai saat ini.

Aku hidup dibalik bayang-bayang. Aku hidup melawan bayang-bayang. Aku nggak mungkin bisa menang. Bayang-bayang itu membututi, mengejarnya ke manapun dia pergi. Aku nggak bisa melawan bayang-bayang. Sesuatu yang nggak nyata, sesuatu yang ada tapi tak tersentuh. Bayang-bayang itu adalah masa lalunya.
Jadi, bagaimana aku melawannya?

Aku melihat tubuhnya tapi aku nggak merasakan dia benar-benar ada di sini.
Aku menatap matanya tapi tak ada pancaran sinar di sana.
Aku melihat hidungnya, ia bagai tak bernafas.

Pujaan hatiku, aku bersamanya tapi tak bisa menyentuhnya. Aku melihat pundakmu, kau tak menoleh. Kau berjalan terus. Bahkan, kau tak peduli, mampukah aku menyamai langkahmu?

Aku berjongkok seperti anak kecil.
Pujaan hatiku, di mana kamu? Aku tertinggal di sini. Sendirian dan sepi.

Pujaan hatiku, kutulis semua kata-kata ini dengan mencucurkan air mata.
Pujaan hatiku, kurangkai semua kata-kata ini dengan hati yang pilu.

Bilamana kau disana merindukan aku juga?
Merasakannya juga?

Aduh, jeritku...
Tolonglah TUHAN...
Aku ingin Pujaan hatiku kembali, di sini bersamaku
Aduh, keluhku...
Tolonglah TUHAN
Kembalikan tubuh dan jiwanya
Aku ingin bersamanya
TUHAN...
KAU yang begitu mengerti aku
KAU tahu apabila aku menangis
KAU tahu kapan aku sedih
Tapi mengapa TUHAN, Pujaan hatiku harus pergi
Beri aku kesempatan untuk mendengar
Setiap jawaban dari semua pertanyaanku
Beri aku kesempatan untuk mendengar
Setiap pembelaan dari semua tuduhanku
Beri aku kesempatan untuk mendengar
Setiap alasan dari semua prasangkaku

TUHAN...
Kalau KAU beri aku seseorang untuk dicintai, mengapa sulit bagi kami untuk bersama? Mengapa sulit bagiku untuk memilikinya?

TUHAN...
Kalau KAU beri aku seseorang untuk dicintai, mengapa kau biarkan aku melihatnya dengan perempuan lain? Mengapa KAU biarkan senyumnya dan tawanya menjadi milik orang lain?

TUHAN...
Kalau KAU beri aku seseorang untuk dicintai, mengapa rasanya terlalu sakit? Mengapa rasa manis itu hanya boleh kukecap tapi tak pernah kutelan?

Aku berseru, jiwaku sakit.
Aku berseru, jiwaku tertekan.
Aku berseru, jiwaku ngilu.

Aduh, aku menangis lagi.
Menangis dan menangis.

Hari ganti hari aku berdiri di depan pintu, menunggu dan tetap menunggu.
Aku berharap dia kembali.

Pujaan hatiku, bila kau membaca tulisan itu, ketahuilah, aku begitu mencintaimu. Aku nggak pernah mau kehilanganmu. Bila saja kau tahu betapa besar cintaku kepadamu...
Kau yang pertama dan yang terakhir. Tak mudah bagiku menemukanmu.
Aduh, kau ini. Datang tanpa permisi dan pergi tanpa pamit. Kau biarkan aku di sini sendiri.

Pujaan hatiku, mengapa kau terlihat begitu senang bersamanya? Tiap kata-katamu padanya menyayat hatiku. Tak tahukah kau bahwa aku cemburu? Tak tahukah kau bahwa aku sakit?

Aku ingin menciummu tapi kau menciumnya.
Aku ingin memelukmu tapi kau memeluknya.
Aku ingin memegang tanganmu tapi kau memegang tangannya.
Aku ingin bercanda denganmu tapi kau bercanda dengannya.
Aku ingin memandangmu tapi kau memandangnya.
Aku mencintaimu tapi kau mencintainya.

Kau bilang kau cinta, kau bilang kau sayang, kau bilang kau mengasihiku.
Kuterima semua janjimu, aku percaya.
Tapi kepercayaan itu seperti terobek dari kulitku dan kau tak sadar.

Aduh, mataku...
Kenapa kau mesti melihat hal itu?
Aduh telingaku...
Kenapa kau mesti mendengar hal itu?

Kau bilang padanya, setiap kejadian dengannya tak bisa kau lupakan.
Kau bilang padanya kau menunggunya.
Kau bilang padanya bahwa kau...

Argh...!
Aku marah aku sedih
Aku tertawa karena frustasi
Aku menangis menenangkan diri

Aduh TUHAN, salahkah aku mencintainya?
Bukannya cinta itu datangnya dariMU?
Tolong TUHAN, beri aku tahu, beri aku jawab.
AlasanMU kali ini?
Ujian dariMU...

Aku telah diuji mat
Dalam fisika aku tak kalah
Aku mencoba mengerti biologi
Dan aku menyukai kimia

Aku terhimpit si suatu celah.
Di antara sela-sela dirimu dan dirinya aku hadir.
Akankah kusesali pertemuan kita?
Atau
Kutangisi perpisahan kita?
Mungkinkah
Kusyukuri saat kita bersama?

TUHAN, katakan padaku.
Salahkah aku ada?
Salahkah aku hadir saat ini?
TUHAN, aku menangis.
Tengokkanlah wajahMU padaku.
Jangan berpaling padaku ya TUHAN.
Sedengkanlah telingaMU padaku.
Untuk mendengar setiap jerit dan keluhku.

Tolong TUHAN, aku mencintainya...
KAU rasakan cintaku.
KAU rasakan cemburuku.
KAU rasakan sedihku.
KAU rasakan marahku.

TUHAN, aku tersiksa, batinku menderita.
Kapankah semua akan berakhir?
Kapankah badai ini berlalu?
TUHAN, ombak yang KAU buat apakah terlalu besar?
Hingga sampai-sampai aku tak dapat mengarunginya?
TUHAN, gunung yang KAU ciptakan apakah terlalu tinggi?
Hingga sampai-sampai aku tak dapat mendakinya?

TUHAN...
Sampai kapan air mata ini mengalir?
Sampai kapan aku harus menahan semua perasaanku?
Menyatakannya saja adalah hal yang terlarang.
Mengungkapkannya saja adalah hal yang tabu.
Meraihnya saja adalah hal yang mustahil.
Menangkapnya saja aku tak mampu.
Mengejarnya saja aku tak bisa.

TUHAN, sungguh...
Bilamanakah waktuku tiba?
Aku ingin segera mengakhirinya TUHAN.
Aku ingin mencapai garis akhir, sesegera mungkin.
TUHAN, panggilku.
TUHAN, panggil aku.
TUHAN, panggil aku pulang.
TUHAN, panggil aku pulang untuk kembali.
TUHAN, panggil aku pulang untuk kembali bersamaMU.