Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Senin, 03 Januari 2011

Anak Pungut

Seorang pria gagah, tegap, dan tampan sedang menunggu dengan cemas di ruang tunggu depan ruang bersalin. Sudah dua jam ia menunggu kelahiran putranya yang pertama dari istrinya yang sangat dicintainya. Seorang suster datang menghampiri untuk menenangkannya dengan mengatakan padanya bahwa istrinya akan baik-baik saja. Dokter telah mengusahakan yang terbaik.

Memang inilah kali pertamanya ia akan mempunyai sebuah momongan yang didambakannya, anak lelaki pula. Sebab, anak laki-laki dapat meneruskan usahanya. Di umur yang terbilang muda, Azolla menjadi pengusaha paling sukses di dunia Internasional dan masuk jajaran TOP 10 orang terkaya dunia. Semua itu didapatnya dengan hasil usaha yang tidaklah mudah sebab dengan statusnya yang adalah pewaris tunggal tahta kerajaan suatu negara, walaupun negara itu kecil, ia harus membuang itu semua dan memulainya dari nol.

Alasannya sederhana, Azolla mencintai seorang gadis dari kalangan rakyat jelata, tidak kaya namun juga tidak miskin. Hanya seorang gadis desa sederhana yang rendah hati yang ditemuinya ketika berjalan-jalan dalam kunjungannya melihat rakyatnya yang hidup rukun dan damai dalam pemerintahan ayahnya yang sangat bijaksana. Namun, Azolla jatuh hati pada Mirabilis yang membuatnya meninggalkan segalanya hanya untuk cinta dan sebuah ikatan yang disebut pernikahan.

Ingatannya kembali ke masa-masa yang menentukan nyawa anaknya dan istri yang dicintainya. Setelah bolak-balik di depan pintu bersalin, suara tangisan kencang membuatnya tersenyum lega dan penuh kemenangan.

“Bayi laki-laki yang sehat, sangat tampan seperti ayahnya,” kata dokter berpipi bulat yang bertubuh gempal.

Bayi itu kecoklatan, sangat mulus tapi terlihat juga kerapuhannya. Barulah Azolla menyadari, bayi itu memang sangat membutuhkan seorang ayah yang menjaganya dan seorang ibu yang memberinya kasih sayang.

Dipeluknya si kecil, ditimang dan diayun dalam kedua lengannya yang kokoh dengan teramat lembut takut melukai si bayi.

“Kunamakan kau Grandis,” dipeluknya dan dikecup pipi Grandis yang lembut.

“Bagaimana istri saya Dok?”

“Baik, butuh istirahat sejenak dan bayi anda juga,” dokter tersebut membentuk tangannya siap untuk menerima Grandis dalam pelukannya. Azolla memberikannya dengan sangat hati-hati.

Istrinya dan anaknya tertidur pulas saat ini. Azolla menuju kantin rumah sakit yang hening. Saat ini menunjukkan pukul setengah tiga dini hari. Ia belum makan apapun dari tadi pagi sebab telah panik dengan kelahiran istrinya dan tidak mau melewatkan momen kelahiran buah hatinya.

“Malam Pak, atau pagi lebih tepatnya,” kata seorang dokter yang menangani kelahiran Grandis tadi.

“Pagi Dok. Bagaimana dengan istri saya Dok?” Azolla menjabat tangan dokter yang telah terulur padanya sejak dari tadi.

Dokter Peter, nama itu tertera di name tack-nya, menarik kursi untuk dirinya sendiri dan mendaratkan pantatnya pada bantalannya yang empuk dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kayu yang kokoh. Sepertinya doker tua itu kelelahan. Berapa lama pengabdiannya membantu para perempuan melahirkan, sepuluh tahun, dua puluh tahun, atau seumur hidupnya hingga saat ini? Jarang ada dokter seperti Dokter Peter, yang sungguh-sungguh menolong, bukan mencari keuntungan dari pasien-pasien yang bukan saja mengeluarkan uang banyak tanpa menerima pertolongan yang sepantasnya. Azolla telah melihat banyak dokter tamak yang mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dari pasien. Semoga Dokter Peter berbeda.

“Istri anda sangat kuat, ia tidak mengeluh kesakitan seperti kebanyakan perempuan lainnya. Sepertinya ia pun sama bahagianya dengan anda, mengharapkan kehadiran sebuah bayi yang tampan ke dunia ini.”

“Yah, bayi saya memang tampan dan sehat. Saya memilih rumah sakit yang tepat,” Azolla berseri.

“Ah, Anda terlalu berlebihan. Rumah sakit reyot seperti ini. Saya hanya heran Bapak memilih rumah sakit ini untuk kelahiran istri Bapak.”

“Terlalu merendah, terlalu merendah,” Azolla tersenyum ramah. Walau memang benar. Rumah sakit mungil, tidak lebih dari sepuluh kamar sederhana dengan peralatan sederhana pula. Bangku-bangku tua yang panjang berdecit ketika diduduki menimbulkan kesan ragu bagi yang ingin duduk. Azolla yakin, Dokter Peter sedikit berbeda dengan dokter lainnya. Untunglah ia ke rumah sakit sederhana ini.

“Saya tahu Bapak Azolla pasti lebih pantas di rumah sakit di kota yang lebih baik, mewah, dan lebih bersih,” Dokter Peter kembali merendah.

“Yah, Dokter benar rumah sakit di kota lebih mewah dan mungkin juga lebih bersih,” Azolla menahan kata-katanya sejenak melihat senyum simpul sang dokter, “Tapi tidak lebih baik dari rumah sakit ini. Di desa penduduknya ramah. Lagipula udara yang masih polos ini baik untuk kesehatan anak saya.”

Dokter Peter mengangguk menyetujui. Baru saja perbincangan santai itu berjalan, seorang suster muda berlari mendekat. “Maaf Dok, ada pasien gawat, dia pendarahan.”
Dokter Peter dengan gesit segera menuju pasien yang dikatakan suster itu tapi tidak terlihat kepanikan di wajahnya menimbulkan rasa ingin tahu pada Azolla.

Azolla menikmati makan paginya yang terlalu dini, pukul tiga subuh, sendiri. Melalui celah-celah dinding kayu, angin berhembus pelan namun dapat membuat Azolla menggigil sedikit. Dirapatkannya jaket di tubuhnya yang tidak terlalu tebal. Azolla tidak menyalakan pematik untuk menyulut rokok. Ia tidak pernah melakukannya seumur hidupnya. Ia cukup terpelajar untuk mengetahui bahaya merokok dan tidak mencobanya agar tidak perlu berusaha melepaskan diri dari rasa ketagihan.

Dua jam berlalu, Azolla tidak merasakan kantuknya. Sayup-sayup terdengar suara tangis bayi. Azolla terduduk tegak dibangkunya. Ia berdiri dan melangkah menuju ruang bayi. Ia menyusuri koridor perlahan, suasana sangat sepi dan Azolla tidak berniat membangunkan beberapa pasien yang membutuhkan istirahat ekstra.

Dari kaca ruang bayi, Azolla langsung mengenali wajah bayi mungilnya. Kehadiran Grandis di dunia ini sangat ditunggunya. Selama kehamilan Mirabilis, Azolla melepaskan semua pekerjaannya dan menghabiskan seluruh waktunya bersama istrinya. Ia telah mendambakan seorang bayi, apalagi bayi laki-laki untuk menyemarakkan keluarga kecilnya.

Dua orang suster datang, seorang membuka pintu dan yang lainnya menggendong seorang lagi bayi mungil yang dilapisi kain tebal yang hangat. Suster itu meletakkanya dengan hati-hati di sebelah Grandis kecil. Azolla menatap kepergian kedua suster tadi dan keheningan kembali merayap.

Bayi yang baru itu laki-laki juga tampaknya. Kurus, sangat kurus dibandingkan Grandis yang terlihat sangat sehat. Matanya tertutup rapat, nyenyak dalam balutan kain-kain yang membungkusnya. Oh, bayi kecil yang malang, betapa kurusnya kau. Azolla bersyukur ia selalu menjaga kandungan Mirabilis dengan memperhatikan gizi sang bayi maupun ibunya.

Azolla kembali menyusuri koridor dan duduk di kantin rumah sakit. Di ufuk timur, cahaya kemerahan bercampur jingga mulai terlihat, baku hantam dengan kegelapan menimbulkan warna-warna lainnya, biru tua dengan ungu tua, berusaha menghapus gelapnya malam. Ayam-ayam jago saling sahut menyahut menantang siapa yang ternyaring, membangunkan hari untuk dijalani umat manusia.

Azolla tetap teduduk di kursinya tadi. Matanya menerawang jauh menembus cakrawala seolah-olah ia dapat melihat belahan bumi bagian sana.

Dokter Peter duduk kembali di tempatnya semula disebelah Azolla seperti sebelumnya.
“Hai, Dok. Bagaimana misi penyelamatannya? Sukses?” Azolla menyeringai dan matanya seperti anak kecil yang tertarik mendengar cerita seorang ayah.

“Seorang perempuan melahirkan hari ini. Tidak terlalu baik, ia mengalami sedikit masalah. Pendarahan. Untunglah bayinya selamat, nanun nyawa sang ibu tidak...” Dokter Peter menghela nafas, “Aku sudah berusaha yang aku bisa.”

“Semua dokter mengatakan hal itu,” kata Azolla skeptis.

“Tapi sedikit yang sungguh-sungguh.”

“Apa kau termasuk yang sedikit itu?”

Dokter Peter mengangguk mantap. “Ya, dan saat aku tidak berhasil menyelamatkan nyawa sang bayi atau pun sang ibu, aku selalu merasa menyesal.”

“Hidup, mati dan jodoh ditangan Tuhan. Kau tidak bisa melawan kekuasaan-NYA,” Azolla mengingatkan.

“Yah, kau benar.”

“Jadi, ceritakan. Apa yang terjadi dengan sang bayi? Iya terlihat sangat kurus dan kurang gizi.”

“Hem, aku kenal perempuan itu.” Sampai di sini, mata Azolla membulat dan semakin melebar, telinganya dipertajam karena ini sangat menarik menurutnya.

“Seorang wanita tunasusila yang hidupnya tetap saja tidak berkecukupan. Perempuan yang cantik, sebelumnya ia hidup bahagia dengan suaminya, menjadi seorang istri yang baik, suami yang mempunyai penghasilan yang cukup untuk menghidupi mereka. Saat seorang bayi dikandungnya, suaminya terkena PHK. Ia mulai pergi ke tempat pelacuran dan mabuk-mabukan. Istrinya sering dipukul, padahal ia sangat menghormati istrinya sebelumnya dan perempuan itu juga selalu mematuhi suaminya. Akhirnya, suaminya pergi dengan wanita lain meninggalkannya dengan kandungan yang semakin membesar. Karena sakit hati, perempuan itu mulai melacurkan dirinya. Ia tidak memperhatikan keadaan janin-nya.”

Dokter Peter menghela nafas lagi. Usianya yang hampir mencapai kepala enam membuat staminanya mudah terkuras. Namun, karena pengabdiannya untuk desa tempat ia dibesarkan dengan segala kesederhanaan dan keramahannya, ia memilih untuk mempergunakan semua yang ada padanya untuk mengabdi pada desa ini.

“Lalu?” Azolla mulai tak sabar.

“Aku menemukannya mabuk dalam keadaan hamil di depan rumah sakit ini. Meraung-raung memukul tanah, menyesali nasib. Hidupnya hanya untuk hari ini, penghasilannya untuk makan hari ini. Lalu aku menampungnya di rumahku. Kehamilannya telah memasuki usia tujuh bulan saat itu. Aku melarangnya melacurkan diri lagi. Memberi berbagai macam asupan gizi untuk bayinya. Aku punya seorang istri, dia meninggal muda karena kecelakaan. Sejak saat itu, aku tidak tertarik untuk mencari penggantinya. Lalu aku melihat perempuan itu. Ia menyebut namanya Vesca. Perempuan yang cantik sebenarnya. Aku menganggapnya seperti anakku sendiri dan janinnya adalah cucuku. Anak yang tak pernah kudapatkan sebelumnya. Pikirannya sedikit terganggu, terlalu labil. Kadang terlihat ceria, kadang mengamuk. Pembantuku beberapa kali kena pukul ketika menenangkannya. Aku beberapa kali memberinya bius dosis rendah agar tidak menggangu janinya. Namun, satu bulan bukan waktu yang lama, bayi itu bisa lahir saja sudah bagus walau sedikit kurus. Ia lahir tepat waktu. Namun seperti yang kau tahu sebelumnya, Vesca tidak selamat. Aku sangat menyesalinya.”

“Mengapa kau menyesal Dok? Bukankah sudah kukatakan sebelumnya...”

“Yah, ya, ya, kau benar. Aku tahu hidup, mati dan jodoh ditangan Tuhan. Kau tidak bisa melawan kekuasaan-NYA. Itu kan yang mau kau katakan?” Azolla mengangguk.

“Aku hanya menyesal. Mungkin aku dapat merawat bayi Vesca beberapa tahun, melihatnya merangkak, berjalan, belajar berbicara, menyebutku kakek, tapi sampai berapa lama? Tiga tahun, delapan tahun, dua belas tahun? Tidak ada yang tau. Aku sudah tua, seperti yang kau bilang, maut dapat menjemput kapan saja. Bukannya aku takut mati, oh tenanglah,” Dokter Peter melambaikan tangan begitu alis Azolla terangkat sebelah.

“Aku hanya takut aku tak dapat menyaksikannya memasuki masa remajanya, masa pubernya, mengenali dan mulai bertanya siapa ayahnya, siapa ibunya, di mana mereka? Aku hanya tak bisa melihat bayi itu tumbuh dalam cemooh dan bisik-bisik tetangga dan teman sekolahnya nanti. Oh, betapa kejamnya kalau harus membawa anak itu dalam sebuah penderitaan maksudku dia tidak pernah minta dilahirkan.”

Azolla terdiam sejenak. Berpikir untuk menanggapi Dokter Peter yang mulai sedikit histeris dengan ceritanya.

“Kau benar Dok, ia tak perlu tumbuh dalam penderitaan yang akan membuatnya menjadi psikopat, maaf aku mencontoh yang ada di film,” Azolla berkata cepat-cepat melihat lirikan tajam dari Dokter Peter. “Tapi ingat, saat itu kau bilang Vesca dan suaminya hidup bahagia. Berarti ada cinta di sana, saat janin itu ditanam dalam rahim Vesca. Jadi poin-nya adalah, ‘cinta’,” Azolla memetikkan jari-jari telunjuknya saat mengatakan cinta. “Kuharap cinta sungguhan.”

“Oh, kau benar bung,” Dokter Peter melangkahkan kaki menuju ruang kerjanya. “Aku butuh istirahat sejenak,” katanya melangkah pergi.

Azolla kembali menatap langit di depannya. Matahari telah sejajar dengan matanya. Ia melirik arloji murahnya yang dibeli di pasar. Pukul tujuh kurang sepuluh menit. Azolla melangkahkan kakinya yang mengantarnya menuju ruang bayi. Kepalanya penuh sekarang.

Azolla melihat Grandis. Bayi kecilnya yang lucu seperti malaikat. Tapi seperti apa malaikat itu? Ia sendiri belum pernah melihatnya. Apakah seperti yang dilukis orang-orang itu? Apa orang-orang yang melukis pernah melihat malaikat itu? Kata orang malaikat itu pelayan Tuhan. Azolla percaya adanya Tuhan. Apakah malaikat itu seperti pelayan-pelayan di istana ayahnya? Pikiran Azolla menjadi kacau. Azolla menolehkan wajahnya pada bayi Vesca yang patut dikasihani.

“Apakah kau butuh cinta itu hai bayi? Apakah kau butuh kehangatan bukan hanya dari selimut itu, tapi dari pelukan seorang ayah dan ibu? Apakah kau mulai merasa tidak adil? Apakah kau merasa tertekan?” Azolla meneteskan airmatanya. Azolla dapat saja mendiskusikannya terlebih dahulu dengan istrinya, tapi istrinya selalu mematuhinya. Mirabilis tahu aturan dan posisinya sebagai istri. Dia adalah kepala di sini. Azolla-lah yang mengambil keputusan.

“Apakah hatimu cukup remuk wahai bayi? Kau butuh susu kukira, kau butuh makan dan minum.” Azolla melihat mata bayi itu mulai terbuka. Ia memandang Azolla tepat di manik matanya. Begitu memelas, begitu butuh kasih sayang, begitu rapuh, begitu memerlukan belas kasian.

Seorang suster membawa sebakul susu untuk lima bayi di dalam ruang bayi itu.
“Suster, boleh aku minta dua botol,” Azolla meminta pada suster dan segera beralih dua botol susu ke tangan Azolla. Azolla memberikan pada Grandis dan dengan lahap dihabiskannya susu yang menjadi bagiannya. Azolla mengalihkan wajahnya sejenak kepada bayi Vesca, tapi matanya tetap was-was pada Grandis.

“Halo bayi, kunamakan kau Arvensis. Halo Arven,” Azolla menyorongkan dot kebibir mungil Arven, namanya sekarang, dalam bak tidurnya yang terlihat kebesaran dibanding tubuhnya.

“Kupanggil kau anak dan kau bersaudara dengan Grandis. Halo Grandis, kau punya saudara sekarang,” Azolla berceloteh riang. Segala beban dalam pikirannya menguap cepat. Azolla merasa telah membuat keputusan yang tepat. Kini, ia mendapat dua putra sekaligus. Tidak ada perbedaan dalam mengasuh mereka, janji Azolla. Baik Grandis maupun Arven adalah sama di matanya, mereka adalah dua putra pewaris seluruh kekayaan Azolla.

“Mungkin, aku akan mempertimbangkan memungut anak lain lagi yang membutuhkan sebuah kata, CINTA,” batin Azolla mantap, karena ia yakin dapat memberikan kasih sayang pada anak-anaknya.



Para pembaca yang setia...
Sedikit info tambahan, kisah ini adalah sebuah kisah nyata. mungkin pengalaman di luar sana, mungkin juga pengalaman langsung sang penulis.

Hanya ini pesan penulis.
Yang dapat mengerti, mengertilah.
Yang dapat memahami, pahamilah.
Suatu rahasia akan diungkapkan bagi mereka yang mecari.