Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Rabu, 23 Maret 2011

Bella

Sudah berhari-hari ini aku memikirkannya. Bayangannya selalu mampir di otakku. Entah saat aku makan, saat aku menonton tv, saat aku belajar, saat aku bermain. Mungkin aku gila tapi entah mengapa setiap kali ada hal, kukaitkan hal itu dengan dia. Bella, teman sekelasku yang amat manis, menurut anggapanku. Pertama kali kami sekelas, dia memang sudah menjadi pusat perhatian. Dia tak pernah berdiam diri, selalu ceria, melempar senyum sana sini, bersikap ramah bila ditanya dan tak pernah marah. Mungkin aku hanya bisa bilang ia terlalu banyak bicara, namun itu normal bagiku, dia kan cewek dan memang begitulah perempuan.

Temanku malah menganggap sebaliknya. Dia bilang Bella terlalu cerewet, terlalu mencari perhatian dan kebaikannya adalah kepura-puraan, tubuhnya yang terlalu gemuk, rambutnya yang ikal berantakan dan cara berjalannya yang sok model. Menurutku dia iri, dia tak mau membuka hati untuk mengenal orang lain tapi sudah terburu-buru menghakimi yang buruk. Aku tahu, setiap orang pasti ada yang tidak menyukai tapi kalau kau tidak menyukai Bella, kau sudah mengambil suatu keputusan yang salah.
Mungkin benar, cinta itu buta dan aku buta karenanya. Mungkin benar kalau cinta memabukkan, aku mabuk karenanya aku tak dapat berpikir sehat. Aku mencari tahu tentang Bella apapun itu, apa yang dia suka dan tidak dia sukai, di mana dia tinggal, siapa saudaranya bahkan siapa yang dia sukai dan pernah dia sukai aku ingin tahu.
Tapi hal yang terakhir itu aku tidak tahu.

Aku berusaha mencari tahu, melalui temannya, melalui gerak-geriknya. Tapi Bella terlalu jauh untuk dijangkau. Kau dapat melihat seolah dia terbuka, selalu tersenyum seolah tanpa beban, tak ada masalah dalam hatinya, matanya seolah selalu bersinar membuat sekitarnya nyaman di dekatnya. Tapi aku tahu, ada sesuatu yang dalam yang ia sembunyikan yang orang lain tak pernah tahu, tak pernah menyentuhnya.

“Hai, Bella,” aku menyapanya dan dia tersenyum membalas.

“Sudah kerjakan pr kimia?” aku mulai berbasa-basi, walau tidak sepenuhnya. Ini kan menunjukkan perhatianku padanya.

“Sudah, mau pinjam?” aku tahu jawabannya akan seperti itu, Bella memang rajin dan pintar, menambah nilai plus di mataku.

“Tidak terimakasih, aku juga sudah,” kataku memamerkan diri aku juga tak kalah rajinnya.

Lalu ia tersenyum dan berlalu. Selalu seperti itu. Seperti ada tembok yang ia bangun diantara dia dengan orang lain, mungkin orang lain tak menyadarinya, tapi aku sadar.
Aku kembali ke bangku tempat dudukku di pojok kelas dan mulai mengamatinya dari sana. Bella tersenyum lagi pada temanku, Robby, lalu keluar kelas. Aku tahu kebiasaannya, pasti Bella ke toilet untuk memeriksa rambut panjangnya yang hitam tergerai, aku tahu Bella selalu ingin tampil rapi.

“Sean, pinjam pr kimia dong,” Robby melempar tasnya di atas meja sampingku dan tanpa keberatan aku menyodorkan bukuku padanya.

“Eh, si Bella makin cantik yah, kayanya dia kurusan deh,” Robby memulai percakapannya sambil menyalin jawabanku ke bukunya. Aku mengangkat alisku yang tentu saja tidak dilihat oleh Robby yang sedang sibuk menyalin.

“Tumben ngomongin Bella, bukannya kau nggak suka dia Rob?”

“Yah, itu dulu, sekarang beda. Dia sudah berubah, nggak terlalu cari perhatian sana sini, nggak terlalu mengobral senyum dan nggak secerewet dulu.”

“Berlebihan,” sambungku langsung. Aku tak suka pujaan hatiku itu dihina-hina.

“Yah ampun, nggak usah terlalu sensi begitu, lagipula kan dia bukan siapa-siapa kau Sean, kenapa kau jadi sewot sendiri?”

Aku menunduk mengalihkan perhatian pada keypad handphone-ku yang sudah mulai mengelupas. Robby menangkap sinyal aneh dari diriku.

“Kau menyukainya kan?” tembak Robby tepat sasaran, lalu dia tersenyum sendiri.

Ini gawat, kalau suatu hal yang ingin kau rahasiakan, Robby lah orang pertama yang harus kau perhatikan untuk menutup mulutmu rapat-rapat di depannya dan aku melanggar kesepakatan itu.

“Yah, siapa yang nggak suka dia sih?” aku berterus terang. Sudah terlanjur basah.

“Hem,” Robby menggaruk dagunya yang aku tahu tidak gatal, “Benar juga. Aku saja sampai dibuat penasaran dengannya.”

“Wah,” aku mendesah, antara terkejut dan kesal. Robby sainganku? Itu yang baru aku tahu, entah berapa cowok lagi yang naksir Bella.

“Menurutku, hal ini harus segera diselesaikan secara cepat dan cermat. Kita harus menentukan siapa yang akan diajak kencan oleh Bella. Aku akan buat votting.”

“Kau gila, Rob. Bella bukan barang taruhan kan? Kalau sampai dia tahu, kau akan dibencinya!”

“Tak masalah,” Robby berkata seolah itu bukan masalah besar. Aku mulai curiga kalau Robby hanya bermain-main.

Keesokkannya, Robby tak hanya sekedar membual. Ia melakukan apa yang dikatakannya. Ia menyebar kertas angket untuk memilih siapa yang terfavorit di kelas itu dan seperti yang kuduga, Bella menjadi yang pertama.

“Wah, Sean, sainganmu banyak,” kata Robby yang membuat bahuku lemas.

“Tapi kurasa yang lain hanya sebatas mengagumi. Ayo, semangat Sean!” Robby menepuk bahuku dengan keras. Aku harus meringis menahan sakitnya. Tapi semangatnya tersalurkan padaku.

Aku mulai menyusun rencana bersama Robby untuk menyatakan cintaku, lalu aku memilih tanggal 24 Juni, semester akhir tahun kedua aku di SMA dan itu artinya dua minggu lagi. Aku tak ingin mengganggu Bella dengan membuatnya tahu perasaanku lalu ia merasa terbeban untuk menjaga perasaanku. Test semester akhir akan usai satu minggu lagi dan saat semuanya selesai, saat acara pertandingan antar kelas yang membuat otakmu kembali normal, aku akan menyatakannya.

Robby membantuku menulis surat cinta, membantu memilih warna amplop apa yang pas, parfum apa yang akan kupakai, menyemir sepatuku hingga mengkilap dan mencuci bersih tas-ku dari noda tinta yang mengusik pemandangan itu.

Akhirnya, hari yang kutentukan pun tiba. Aku menyisir rapi-rapi rambutku, mengecek ulang seragamku yang telah disetrika dan menyemprotkan parfumku secukupnya, aku tidak mau dibilang terlalu kampungan, lalu segera menuju sekolah.

Suasana sekolah ramai, hari ini pertandingan final futsal kelasku dan kelas B. Aku langsung mengarahkan mataku ke seluruh penjuru dan sudut dan sisi lapangan. Tapi sejauh mata memandang, tak ada tanda-tanda kehadiran Bella. Aku menuju kantin mencari Robby yang sedang menikmati kopi dan roti panggangnya.

“Rob, Bella nggak ada,” kataku sedikit panik.

“Duduk dulu,” Robby menyuruh, “Mau kopi?”

“Tidak,” aku menggeleng, “Bella...”

“Bella? Kau tak tahu kabar terbarunya?” Robby seolah terkejut.

“Apa?” aku sudah tak sabar.

“Orangtuanya resmi bercerai, jadi dia memutuskan untuk pergi, dia sudah terbang ke
New York dengan pesawat jam lima pagi tadi.”

Penjelasan Robby bagai petir di siang hari. Segala yang kupersiapkan dan kurancang gagal total. Menyatakan perasaankupun aku belum lakukan tapi kini pujaan hatiku telah pergi meninggalkanku sendiri, di sini, di kota kecil di India.