Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Sabtu, 23 April 2011

It Is A Real One?

“Huff,” Tantia menghela nafas lagi. Sudah berkali-kali Tantia katakan tidak pada cintanya namun Joni yak gentar juga mengejar-ngejar Tantia.

Oke, aku menghargai perasaannya, tapi ini soal hati, soal ketegasan dan soal keputusan, batin Tantia.

Tantia kembali ke ruang biologi, hari ini ada praktikum di laboratorium mengamati bakteri di dalam mulut.

“Hai Tan,” sapa Joni dengan senyum lebarnya. Tantia balas tersenyum namun segera menggantinya dengan ekspresi datar.

“Kok manyun gitu?” perhatian Joni membuat Tantia muak sebab beberapa pasang mata disekelilingnya kini menatap mereka. Tantia tidak suka menjadi pusat perhatian, apalagi menjadi bahan pembicaraan anak-anak. Bukan salah Joni sepenuhnya dan jangan salahkan Tantia juga kalau aku menghindar. Gosip di luar kami begitu tak enak. Tantia dibilang si ‘Pembuat Harapan Palsu’ atau ‘Si Cantik Tak Punya Hati’.
Semua bermula dari tiga bulan lalu...

Suasana kelas riuh, Tantia yang dikenal periang dan ceria bahkan sedikit alay alias kampungan menjadi salah satu pembuat ribut itu. Tantia berjalan keliling kelas.

Dengan kejayusan-kejayusan dan kehebohannya, Tantia berhasil menarik perhatian Joni, si murid teladan kelas wahid, pendiam dan taat aturan menjadi azas hidupnya.

Awalnya, Joni hanya sekedar lirik melirik, mencari tahu suara cempreng siapa yang menyebabkan polusi suara di kelas, lalu ingin menegornya. Namun, setelah tau suara itu milik Tantia, dengan kejayusannya, Joni malahan ikut tertarik dengan obrolan tidak terarah dan nggak bermutu milik Tantia, yang tadinya Joni mau menegor malah ikut asyik terbuai canda tawa murid kelas XI IPA-3 itu.

“Jon, lo suka Tantia yah?” celutuk Sava suatu ketika.

“Wah, Jon, mau daftar jadi penggemar juga yah?” Tantia ikut-ikutan. Bukannya salting, Tantia malah mendukung dan menggoda Joni. Joni yang ditembak begitu, kelabakan dan mukanya memerah menahan malu lalu pergi.

Tak ada yang benar-benar menyadari perasaan Joni saat itu terkecuali Sava yang indra penciumannya lebih tajam dari anjing dalam soal cinta-cintaan begini.

“Sms dari siapa Tan?” Sava melirik mencoba mengintip pesan singkat yang masuk di layar HP Tantia.

“Mau tau aja,” Tantia pura-pura menutupi. Sava merenggut pura-pura marah dan Tantia hanya cengar-cengir memperlihatkan sms yang ternyata dari Joni.

“Cie, di sms-in tuh. Sejak kapan kalian deket?” Sava mulai menyelidik di balik ucapan godaannya itu.

“Uda seminggu-an sih Sa.”

“Kayanya dan pasti bener deh, Joni suka lo Tan!” Sava akhirnya mengambil kesimpulan dari analisisnya belaka. Tantia hanya mengangkat bahunya dan mengisyaratkan kata ‘Sok tahu’ tanpa mengeluarkan suara.

Pulang dari sekolah, Tantia mengecek kembali telepon genggamnya yang mungil itu. Ada satu pesan baru. Tantia langsung membukanya, isinya singkat padat. Awalnya Tantia kaget membacanya, lalu kembali tersenyum.

“Ternyata, Sava memang berbakat menjadi detektif,” gumam Tantia.

Tantia langsung mengabarkan hal itu kepada Sava bahwa kesimpulan yang dibicarakannya tadi pagi benar, bahwa memang Joni menyukainya.

“Yah lo ikutin hati aja. Sebenarnya lo suka dia nggak si Tan?” suara Sava masih terdengar jernih melalui kabel-kabel telepon yang menempel di gagangnya.

“Nggak,” kata Tantia sambil menggeleng walau Sava sebenarnya tidak dapat melihatnya.

“Terus apa yang bakal lo lakuin?”

“Nggak tahu sih Sa, tapi gue bakal tegas mengatakan TIDAK pada Joni.”

Tantia benar-benar melaksanakan keputusannya itu, dinyalakannya HP-nya yang tadi di non-aktifkan lalu mulai mengetik sms.

Sori Jon, tapi kita jadi temen aja. Maaf yah kalau selama ini gue uda buat lo salah tanggep.

Dan pesan-pun dikirim. Tantia menunggu sms balesan dari Joni, namun sms itu tak pernah diterimanya.

Keesokannya, Tantia mulai mengambil langkah seribu. Berita tentang Joni suka Tantia dan Tantia menolaknya langsung menjadi topik hangat di kelas XI IPA 3 itu. Alhasil, Tantia sukses jadi selebriti HOT GOSIP.

“Sa, kok jadi gini sih?” Tantia baru saja mendaratkan pantatnya di kursi tapi omongan teman-temannya sedari dia di pintu kelas sudah membuat Tantia tidak nyaman. Belum keluhan Tantia ditanggapi, Joni datang menghampiri.

“Hai, Tantia, uda ngerjain PR mat?”

“Belom Jon,” Tantia menjawab singkat.

“Nih, pinjem punya gue aja,” Joni meletakkan buku PR mat-nya lalu kembali kekumpulan teman-teman cowoknya.

“Sarap tuh orang. Tumben banget, si Mr. Anti Nyontek, pendiam dan teladan kelas atas, sekarang segampang itu membiarkan PR-nya dipinjem oleh Mrs. Lebay dengan sukarela. Emang cinta itu buta yah.”

“Weh, nyantai aja dong ngatainnya,” Tantia sewot diomongin sama teman sendiri. Lalu kedua teman sejawat itu sama-sama terdiam. Bukan karena merenung, tapi karena tangan mereka sibuk harus berkoordinasi dengan mata mereka untuk menyalin jawaban PR mat.

Kembali ke masa kini...

Joni memang gigih dan itu Tantia akui, sudah sejak tiga bulan itu Joni tak mundur walaupun Tantia terus menghindar, baik secara terang-terangan maupun jelas-jelasan, namun Joni maju terus pantang mundur.

Suara berisik kembali menyadarkan Tantia mengembalikan ingatannya ke masa sekarang di mana dihadapannya sudah ada Joni yang mengeruk pipi bagian dalam dengan tusuk gigi dan mulai mengamatinya dengan mikroskop.

“Tan, lihat deh, lucu banget loh, bakterinya banyak banget bisa bergerak.” Tantia tersenyum kecut, mengapa juga ia harus sekelompok berdua dengan Joni. Ini karena ulah teman-temannya sengaja tidak mau berpasangan dengan mereka, ya sudah yang sisa yah Joni dan Tantia, sementara Sava sudah dari kemarin tidak masuk karena sakit.

“Tan, kenapa nggak diterima aja sih si Joni. Kurang apalagi coba, pinter, setia, ganteng sih lumayan,” bujuk Yanti yang pingin tahu-an-nya besar banget, buat bahan gosip sama temen se-genk-nya.

“Tahu lo Tan, Cuma beri harapan palsu aja sama Joni,” Santo ikut-ikutan nimbrung.

“Woi, cowok-cowok yang lain, hati-hati nih sama Tantia, nanti diberi harapan palsu!”

“What?!” Tantia melotot, bakso Pak Kumis aja kalah gedenya.
“Eh, To. Lo kalau nggak ada bukti tutup mulut aja deh. Kalau misalnya ada cewek yang suka sama lo dan lo menanggapi biasa-biasa aja tapi lo dibilang pemberi harapan palsu lo mau? Kalian tuh nggak ngerti jadi nggak usah ikut campur. Ini soal prinsip, soal hati. Kalau perasaan bilang nggak yah nggak. Masa mau nerima cinta orang karena kasihan?! Dipikir dulu kalau ngomong jangan asal nyeplas-nyeplos kaya sapi ompong, minta ditampol yah?! Lo pikir gue seneng dikuntilin terus tiap hari, mesti dijodoh-jodohin sama kalian ditambah dikasih julukan yang super duper jahat kaya gitu?! Kalian tuh FITNAH!!!” dada Tantia sudah naik turun menahan amarah.

Santo hanya cuek saja berjalan menuju kantin meninggalkan Tantia dalam amarahnya. Semua pertengkaran dan omongan Tantia didengar Joni yang daritadi mendengarkan di daun pintu yang terbuka sendiri oleh dorongan angin. Santo yang berpapasan dengan Joni di pintu hanya bisa menepuk ringan bahu Joni yang terkulai lemas. Tantia langsung mendekap mulutnya erat. Teman-teman ceweknya segera kembali ke tempat duduk masing-masing.

Joni langsung melemparkan sytrofoam berisi bubur Pak Dede yang enak dan mahal itu ke lantai lalu berlari entah ke mana.

“Ya ampun, gue salah lagi,” keluh Tantia pasrah.

“Tantia, gawat! Mending lo cepet ke lapangan deh,” Roli terengah-engah di pintu kelas ditambah keributan di lorong sekolah berkumpul di lapangan.

“Kenapa sih?” Tantia yang masih BT walau dengan langkah berat mengikuti saran Roli juga. Anak-anak sudah ramai berkumpul membawa kain lebar dan TOA. Terlihat Joni bergelantungan di tembok pembatas lantai 4.

“Nggak ada gunannya lagi gue hidup kalau orang yang gue cintai membenci gue!” Joni berteriak histeris sambil memegang erat pagar yang menjadi tumpuan berat badannya.
“Tantia gimana tuh?” Roli menyikut Tantia menyadarkan Tantia yang syok berat.

“Gue, ke-atas-sekarang,” Tantia segera berlari menaiki tangga kelantai empat.
Nafasnya sudah terengah-engah.

“Jon, jangan gila, jangan idiot kaya gitu!” Tantia berusaha membujuk Joni sambil mengatur nafas.

“Sudah terlambat Tantia, gue tulus mencintai lo tapi lo ternyata begitu benci sama gue,” Joni masih histeris.

“Sadar Jon, balik ke sini sekarang juga kalau lo beneran cinta sama gue,” pikiran Tantia langsung melayang merasa ini sebagai sebuah sinetron aja.

“Janji lo terima cinta gue?”

“Jangan konyol Jon, cepet balik. Lo sudah membuat heboh sekolah ini melebihi kehebohan gue. Kalah deh pamor gue,” Tantia ngelantur masih bisa ngelawak.

“Tantia, gue serius. Terima cinta gue atau gue mati!”

“Terserah apa kata lo deh!”

“Oke, lo ke sini bantuin gue naik,” pinta Joni yang disetujui Tantia. Tantia menarik tangan Joni, namun rupanya tangan Joni berkeringat karena terlalu lama bergelantung. Tantia yang tidak memperhitungkannya dan merasa geli langsung melepaskan pegangannya dengan Joni.

“TIDAK!” Joni berteriak bersamaan dengan Tantia yang menutup matanya rapat-rapat.
Terdengar bunyi berdebum yang kencang dan Tantia tidak berani membuka matanya.
“Tantia! Bangun!” seseorang mengguncang tubuh Tantia. Sinar matahari dari jendela yang tidak bergorden itu menyengat mata Tantia yang kelopaknya tak dapat melindunginya dari terang sinarnya.

“Hm,” Tantia menggeliat di kasur.

“Sudah siang Tantia, kalau kamu nggak bangun nanti kamu bisa terlambat!” mama meninggalkan kamar.

“Sekolah? Jadi ini di rumah?” Tantia langsung terduduk dan memandang sekeliling ruangan dan memang benar bahwa itu memang kamarnya.

“Jadi, Joni bunuh diri itu?”

Tantia segera bersiap-siap berangkat sekolah. Sesampainya di sekolah, Tantia sudah siap-siap untuk menebalkan kuping mendengar sapaan plus ledekan dari Joni maupun teman-temannya.

“Hai, Tantia sayang,” sapa Joni yang langsung mengapit lengan mulus Tantia.

“CIE! PASANGAN BARU!” teriak teman-teman Tantia norak.

“WHAT?! BUKANNYA TADI CUMA MIMPI KALAU JONI BUNUH DIRI?”

“Memang dan Joni yang hampir jatoh dari lantai empat selamat karena kekuatan...cinta,” Ibnu memperagakan kata-kata cinta dengan menggelikan.

“Dan kamu nerima cinta aku sebelumnya, ingat kan?” Joni memandang Tantia yang sekarang menjadi pacarnya.

“APA?! TIDAK...!”

BRUK.

Tantia terjatuh dari kasurnya dan terbangun.

“Syukurlah, ternyata cuma mimpi.”

“Tantia sayang, kamu nggak apa-apa?” Joni langsung membopong Tantia.

“Hah? Ngapain lo deket-deket?” Tantia segera melepaskan diri dari Joni.

“Kamu tadi pingsan dan sekarang di ruang UKS. Ingat?”

“TIDAK...!” Tantia kembali ke alam mimpinya dalam ketidaksadarannya.