Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Jumat, 27 Mei 2011

Jendela


Beberapa burung telah mengetuk-ngetukkan paruh mungil mereka pada kusen jendela, berharap Jendela membukakan kacanya. Beberapa masih bersikukuh menunggu dan beberapa terbang pergi mencari jendela-jendela lain tempat mereka dapat masuk dan tinggal.
Tapi aku di sini, di sebuah dahan yang kuyakini tidak mudah rapuh, menunggu dan mengamati. Aih, sulit memang bagiku mengetahui Jendela yang satu ini. Lalu aku berpura-pura terbang mengitari jendela berkusen putih itu. Warna yang sama dengan warna buluku. Aku hinggap lalu pergi, datang dalam diam-diam lalu segera kabur. Jendela menatapku dengan heran, aku memang tak seperti burung-burung yang lain yang terlalu to do point.
Aku menggunakan strategi itu dan berhasil! Jendela menggeser sedikit kusen jendela, membiarkan buluku ditiup angin dari dalamnya. Ugh, dingin. Aku menggigil. Dia terlalu misterius. Aku mengintip sedikit ke dalamnya. Ah, hampir saja kulihat sebuah foto berbingkai perak di dalamnya. Foto seorang wanita. Aku tahu itu adalah foto seorang yang begitu berharga buatnya.
Burung bersayap abu-abu mendorongku sedikit, cemburu karena jendela membuka sedikit kusennya untukku. Hup! Jendela kembali tertutup rapat.
Ah, sial! Aku belum mengetahui siapa wanita itu. Ini gara-gara burung bersayap abu-abu.
Kenapa dia datang disaat yang tidak tepat?!
Tidak ada lain kesempatan. Tidak ada lagi tipuan yang sanggup membuat jendela membuka kusennya. Sekarang aku harus pergi, aku kehabisan waktu. Bagiku jendela berkusen putih tetap menarik perhatianku. Tapi indukku telah memanggilku kembali untuk kembali keperaduanku.

Senin, 23 Mei 2011

She's Gone


Kau datang kau pergi, kau datang lalu pergi kembali.
Mungkinkah kau sebuah sabun dalam genggamanku? Begitu licin, mudah terlepas.
Kau beri aku kesempatan memegangmu. Aku tak mampu memilikimu. Bila genggamanku terlalu kuat, aku meremukkanmu, bila genggamanku terlalu kendor, kau lepas dari genggamanku.
Ataukah kau sebuah gelembung? Membiaskan warna putih lampu menjadi tujuh warna pelangi. Setiap aku melihatmu aku tersenyum. Namun, aku tak dapat menyentuhmu. Kau begitu rapuh. Kau hilang lenyap begitu sampai di kulitku. Lalu aku kembali bersedih hati.
Atau kau segumpal busa? Buih yang bagian dari koloid? Kau kah itu? Yang dapat kusentuh, dapat kepegang, namun tak lama untuk kumiliki. Kau begitu ringan, terbang melayang begitu tertiup.
Oh, bayang-bayang, kuingin kau menjadi nyata? Akankah kau kembali pulang? Berjanji untuk tak pergi lagi?



Aku melihatmu datang, dengan sebuah senyuman. Malu-malu untuk menyapa. Kupegang dadaku, terasa berdebar keras. Aku harap kau tak merasakan getarannya. Kuharap kau tak tahu isi hatiku saat ini. Begitu kacau. Kehadiranmu membuat hidupku kembali berada di atas mesin cassino yang sedang berputar. Terasa berjudi dan aku tak senang untuk kalah, aku tak mau mengalah.
Kutatap wajahmu. Kau tak berubah. Berdiri mematung sesaat di depan pintu.
“Silahkan duduk,” kataku akhirnya. Suaraku terasa tersekat di ujung tenggorokanku. Kutelan ludah sekali untuk melicinkannya.
Aku menatap matamu. Mata yang sama dengan yang dulu, namun di mana sinarmu?
“Halo,” sapaku, “Apa kabar?” mu? Bagaimana keadaan jiwamu? Sambungku dalam hati. Aku begitu ingin memelukmu mengatakan kau akan baik-baik saja. Tapi aku tetap diam di sini, dihadapannya, hanya duduk diam bersila, diatas sebuah alas tikar.
Rumah tempat kami bertemu sepi, kami hanya bertiga, aku, dia dan empunya rumah. Di dalam kamar yang kedap ada temannya, istri empunya rumah dan anak empunya rumah.
 “Baik,” jawabnya. Suaranya masih sama, namun kecanggungan yang kudengar.
Aku ingin sekali melepas rindu dengannya, ingin bercengkrama dengan bebas. Tapi bukan itu tujuanku bertemu dengannya saat ini. Bukan menuruti keinginan dagingku, namun mengerjakan perkerjaan yang ditugaskan untukku.
Aku memulai tugasku...

Satu minggu berlalu, namun kini semua itu hanya tinggal kenangan.
Ugh, kau...
Mengapa kau harus datang, membuka luka lama dan menorehkan luka baru disaat yang bersamaan?
Luka lama itu belum kering, belum sembuh benar. Kau datang dan pergi semaumu. Akankah kepergianmu kedua kalinya untuk selamanya?
Kuyakini kau pergi untuk kembali, kembali untuk selamanya. Kuharap, ada kesempatan bagi jiwamu untuk diselamatkan. Kuharap, kau mengerti tentang apa yang kujelaskan. Kuharapkan kepadamu harapan terbaik dalam hidupmu.

Aku mengendarai motorku untuk menjemputnya, aku tahu dia pasti senang, kutahu dia menanti. Ah, kulakukan ini untuk dia. Aku mau menjadi si penurut. Aku ingin...
Tin tin
Kutekan klakson panjang. Perasaan tidak tenang membuat aku menjadi tidak sabar. Aku meneruskan perjalanan dan menunggu beberapa saat. Aku tahu berapa waktu, tenaga dan biaya pulsa yang kukeluarkan. Namun semuanya tak kuperhitungkan. Ah cinta...begitu rumit dipahami tak mudah diselami.
Gadis itu berjalan terseyum kepadaku, dia begitu terlihat penuh pura-pura. Senyum sana senyum sini. Aku tahu dia canggung. Aku tahu dia tegang, takut dan begitu kaku. Setiap langkahnya adalah keengganan. Aku tak peduli. Aku hanya harus menjalankan tugasku.
Kutekan gas kuat-kuat, melaju kencang di atas aspal. Kuharap ini segera berlalu. Cepat sampai di rumah itu. Nah, kan, sudah kutahu. Ini hanya akan membuat aku sedih. Tangis dan tawa tak dapat kubedakan. Akankah kusenang atau sedih? Melihat gadis itu bersamanya?
Aku masuk ke kamar. Menunggu sang waktu berlalu. Menunggu nasib? Ugh, aku tak suka. Aku tak suka pada keadaan ini. Aku tak suka pada pikiranku.
Aku menggeleng-geleng kuat, tertawa kuharap dapat mengusir semua keenggananku.
TUHAN, kumohon, beri aku kekuatan.
Sekarang ditelingaku, yang keluar dari bibirnya hanyalah tentang gadis itu.
Hello, I’m in here! Look at me! Please!
Aku berteriak dalam hati. Ah yah, kumerenung dalam.
Semalaman ini aku menangis, dalam heningnya malam. Esok harus kujalani. Waktu tetap berjalan tanpa bisa aku hentikan. Tak ada pengulangan. Semua harus kupertanggung jawabkan. Aku memulainya dengan suatu harapan, kuharap dapat mengakhiri dengan sebuah keyakinan. Aku mengenakan kacamataku menutupi mataku yang bengkak.
“Hai,” sapanya pagi itu. Aku tersenyum, berharap dapat mengalihkan pandangannya pada mataku. Kuharap jangan tanya tentang mataku. Yup, berhasil dan memang sepertinya mataku tidak menarik.
Yang ada di pandangannya hanyalah gadis itu. Aku marah, aku cemburu dan aku frustasi. Aku sedih, ini menyedihkan. Tragis? Benarkah?
“Dia pergi,” katanya singkat. Aku mengangguk mengerti.
Sekarang aku bingung, apakah aku senang atau sedih. Aku tahu tugasnya menjaga jiwa gadis itu. Gadis itu pergi dan dia melepaskannya tanpa bisa ia cegah. Hanya ucapan selamat tinggal.
Aku mengambil sikap. Hei, bukankah aku telah akil balig? Seharusnya aku mengerti, seharusnya tidak ada kata terlambat. Seharusnya aku lebih dewasa mengambil sikap dari awal.
Ah.
Aku sedih, kutahu hatinya tersayat. Kutahu bayang-bayang itu masih mengikutinya. Seberapa pun ingin ditepisnya, seberapa pun keras usahanya meyakinkanku bahwa ia baik-baik saja.
Tapi setiap nama gadis itu disebut, hanya nada lirih, kesedihan yang kurasa. Dia tidak meratap, namun menangis dalam diam. Aku tahu. Dia mencoba tegar, ia mencoba membangun lagi. Namun, akhirnya tidak sesuai yang diharapkan. Aku tak mengatakan ia gagal. Belum! Terlalu dini untuk menyerah.
Namun, kami harus menerima kenyataan. Gadis itu telah pergi dan itu keputusannya.

Senin, 16 Mei 2011

TUHAN, Tolong...


Sebenarnya, untuk menulis setiap satu kata di cerita kali ini seperti tiap sayatan pisau yang mengiris hati.
Setiap ketikan hanyalah seperti tetesan air mata di pipiku yang nggak bisa berhenti mengalir biar kuhapus berkali-kali.

Aku mencintai dia, hanya dia yang kucinta. Belum pernah kutemukan seseorang seperti dia.

Tiap kali di benakku, aku ingin selalu bersama dia, melewati hari demi hari dengannya dan menghabiskan waktuku bersama dia. Tapi kenyataannya nggak bisa. Nggak pernah bisa, sampai saat ini.

Aku hidup dibalik bayang-bayang. Aku hidup melawan bayang-bayang. Aku nggak mungkin bisa menang. Bayang-bayang itu membututi, mengejarnya ke manapun dia pergi. Aku nggak bisa melawan bayang-bayang. Sesuatu yang nggak nyata, sesuatu yang ada tapi tak tersentuh. Bayang-bayang itu adalah masa lalunya.
Jadi, bagaimana aku melawannya?

Aku melihat tubuhnya tapi aku nggak merasakan dia benar-benar ada di sini.
Aku menatap matanya tapi tak ada pancaran sinar di sana.
Aku melihat hidungnya, ia bagai tak bernafas.

Pujaan hatiku, aku bersamanya tapi tak bisa menyentuhnya. Aku melihat pundakmu, kau tak menoleh. Kau berjalan terus. Bahkan, kau tak peduli, mampukah aku menyamai langkahmu?

Aku berjongkok seperti anak kecil.
Pujaan hatiku, di mana kamu? Aku tertinggal di sini. Sendirian dan sepi.

Pujaan hatiku, kutulis semua kata-kata ini dengan mencucurkan air mata.
Pujaan hatiku, kurangkai semua kata-kata ini dengan hati yang pilu.

Bilamana kau disana merindukan aku juga?
Merasakannya juga?

Aduh, jeritku...
Tolonglah TUHAN...
Aku ingin Pujaan hatiku kembali, di sini bersamaku
Aduh, keluhku...
Tolonglah TUHAN
Kembalikan tubuh dan jiwanya
Aku ingin bersamanya
TUHAN...
KAU yang begitu mengerti aku
KAU tahu apabila aku menangis
KAU tahu kapan aku sedih
Tapi mengapa TUHAN, Pujaan hatiku harus pergi
Beri aku kesempatan untuk mendengar
Setiap jawaban dari semua pertanyaanku
Beri aku kesempatan untuk mendengar
Setiap pembelaan dari semua tuduhanku
Beri aku kesempatan untuk mendengar
Setiap alasan dari semua prasangkaku

TUHAN...
Kalau KAU beri aku seseorang untuk dicintai, mengapa sulit bagi kami untuk bersama? Mengapa sulit bagiku untuk memilikinya?

TUHAN...
Kalau KAU beri aku seseorang untuk dicintai, mengapa kau biarkan aku melihatnya dengan perempuan lain? Mengapa KAU biarkan senyumnya dan tawanya menjadi milik orang lain?

TUHAN...
Kalau KAU beri aku seseorang untuk dicintai, mengapa rasanya terlalu sakit? Mengapa rasa manis itu hanya boleh kukecap tapi tak pernah kutelan?

Aku berseru, jiwaku sakit.
Aku berseru, jiwaku tertekan.
Aku berseru, jiwaku ngilu.

Aduh, aku menangis lagi.
Menangis dan menangis.

Hari ganti hari aku berdiri di depan pintu, menunggu dan tetap menunggu.
Aku berharap dia kembali.

Pujaan hatiku, bila kau membaca tulisan itu, ketahuilah, aku begitu mencintaimu. Aku nggak pernah mau kehilanganmu. Bila saja kau tahu betapa besar cintaku kepadamu...
Kau yang pertama dan yang terakhir. Tak mudah bagiku menemukanmu.
Aduh, kau ini. Datang tanpa permisi dan pergi tanpa pamit. Kau biarkan aku di sini sendiri.

Pujaan hatiku, mengapa kau terlihat begitu senang bersamanya? Tiap kata-katamu padanya menyayat hatiku. Tak tahukah kau bahwa aku cemburu? Tak tahukah kau bahwa aku sakit?

Aku ingin menciummu tapi kau menciumnya.
Aku ingin memelukmu tapi kau memeluknya.
Aku ingin memegang tanganmu tapi kau memegang tangannya.
Aku ingin bercanda denganmu tapi kau bercanda dengannya.
Aku ingin memandangmu tapi kau memandangnya.
Aku mencintaimu tapi kau mencintainya.

Kau bilang kau cinta, kau bilang kau sayang, kau bilang kau mengasihiku.
Kuterima semua janjimu, aku percaya.
Tapi kepercayaan itu seperti terobek dari kulitku dan kau tak sadar.

Aduh, mataku...
Kenapa kau mesti melihat hal itu?
Aduh telingaku...
Kenapa kau mesti mendengar hal itu?

Kau bilang padanya, setiap kejadian dengannya tak bisa kau lupakan.
Kau bilang padanya kau menunggunya.
Kau bilang padanya bahwa kau...

Argh...!
Aku marah aku sedih
Aku tertawa karena frustasi
Aku menangis menenangkan diri

Aduh TUHAN, salahkah aku mencintainya?
Bukannya cinta itu datangnya dariMU?
Tolong TUHAN, beri aku tahu, beri aku jawab.
AlasanMU kali ini?
Ujian dariMU...

Aku telah diuji mat
Dalam fisika aku tak kalah
Aku mencoba mengerti biologi
Dan aku menyukai kimia

Aku terhimpit si suatu celah.
Di antara sela-sela dirimu dan dirinya aku hadir.
Akankah kusesali pertemuan kita?
Atau
Kutangisi perpisahan kita?
Mungkinkah
Kusyukuri saat kita bersama?

TUHAN, katakan padaku.
Salahkah aku ada?
Salahkah aku hadir saat ini?
TUHAN, aku menangis.
Tengokkanlah wajahMU padaku.
Jangan berpaling padaku ya TUHAN.
Sedengkanlah telingaMU padaku.
Untuk mendengar setiap jerit dan keluhku.

Tolong TUHAN, aku mencintainya...
KAU rasakan cintaku.
KAU rasakan cemburuku.
KAU rasakan sedihku.
KAU rasakan marahku.

TUHAN, aku tersiksa, batinku menderita.
Kapankah semua akan berakhir?
Kapankah badai ini berlalu?
TUHAN, ombak yang KAU buat apakah terlalu besar?
Hingga sampai-sampai aku tak dapat mengarunginya?
TUHAN, gunung yang KAU ciptakan apakah terlalu tinggi?
Hingga sampai-sampai aku tak dapat mendakinya?

TUHAN...
Sampai kapan air mata ini mengalir?
Sampai kapan aku harus menahan semua perasaanku?
Menyatakannya saja adalah hal yang terlarang.
Mengungkapkannya saja adalah hal yang tabu.
Meraihnya saja adalah hal yang mustahil.
Menangkapnya saja aku tak mampu.
Mengejarnya saja aku tak bisa.

TUHAN, sungguh...
Bilamanakah waktuku tiba?
Aku ingin segera mengakhirinya TUHAN.
Aku ingin mencapai garis akhir, sesegera mungkin.
TUHAN, panggilku.
TUHAN, panggil aku.
TUHAN, panggil aku pulang.
TUHAN, panggil aku pulang untuk kembali.
TUHAN, panggil aku pulang untuk kembali bersamaMU.

Minggu, 15 Mei 2011

Padang Belantara


Ini kisah tentang aku, seorang pangeran.

Aku adalah pangeran dari KERAJAAN ABADI. Aku mengembara di negri orang asing. Di negri ini kujumpai banyak hal yang menyenangkan. Tapi tak satupun bisa kunikmati.  Aku melewati negri itu dan berlalu. Aku menuju padang belantara. Tanpa arah tanpa peta. Aku memberanikan diri menyusurinya seorang diri.
Padahal aku seorang pangeran. Harta kekayaan melimpah di kerajaan AYAH-ku. Tapi aku diasingkan di sini agar aku mencari jalan pulang kembali. Aku diuji. Layakkah aku menjadi anggota kerajaan? Layakkah aku dinobatkan sebagai anak RAJA YANG DIMULIAKAN?
Yang kubawa hanyalah sebuah senter. Bajuku adalah baju rakyat jelata. Emas dan perak tidak ada padaku. Aku sendiri tanpa arah,  di sini, terdampar di padang gurun.
Angin berhembus membuat pasir-pasir berterbangan. Aku terus berjalan dalan kehausanku. Terik matahari semakin membakar kulitku yang hanya terbalut pakaian tipis. Tapi aku ingat, ada sesuatu yang mesti  aku tuntaskan. Rasa-rasanya jalan menuju RUMAH-ku ada di ujung padang gurun ini.
Tik-tok-tik-tok.
Aku tahu waktu terus berlalu. Aku tak dapat menghitungwaktu. Kakiku lelah berjalan. Aku bahkan tak tahu ke mana aku melangkah.
Di sore yang senja, dalam cahaya yang makin ditelan bumi, aku menemukan seseorang. Terbujur kaku. Dia tak bergerak, tak bersuara, tak bernyawa. Aku mendekatinya, makin dekat dan semakin dekat. Kuhempaskan rasa takutku, kuganti dengan rasa ingin tahuku.
Dia memakai jubah hitam yang sudah lusuh. Banyak bolong di sana-sini, sepertinya sudah rapuh dimakan kejamnya waktu. Ditangannya tersemat sebuah BUKU TUA bersampul kulit warna hitam. Tapi entah mengapa, waktu menghentikan keganasannya, ia seperti tak dapat melahap BUKU TUA itu. Pelan-pelan kuangkat tulang tenggorak yang sudah tak berdaya itu, lalu aku mengambil BUKU TUA itu. Aku penasaran. Mengapa seorang pengembara seperti dia mati sambil memegang sebuah buku, bukannya harta benda yang lain seperti emas. Apakah BUKU TUA ini lebih penting daripada harta bendanya, bahkan nyawanya sekalipun?
Aku memasukan BUKU TUA itu ke dalam kantong mantelku yang menjuntai panjang hampir menyentuh tanah. Lalu aku meneruskan perjalanan. Hari telah jauh malam, akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat. Atap persinggahanku ialah langit dan alas tidurku adalah pasir. Tapi mataku tak dapat terpejam. Aku kembali teringat apa yang tadi kutemukan tadi sore.
Aku merogoh saku mantelku, membukanya secara acak lalu mulai membaca dengan senter.

Tetapi carilah dahulu KERAJAAN ABADI dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.

Apa? Ini kan nama KERAJAAN AYAH-ku? Mengapa bisa tertulis di sini? Mengapa pula orang itu bisa mempunyai kitab ini?
Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi. Aku mulai membacanya lebih cermat, meneliti setiap kata demi kata, berusaha ingat terus dan jangan sampai lupa. Aku melupakan rasa lelahku dan rasa kantukku. Kitab ini menarik.
Hingga fajar menyinggsing, aku baru berhenti membaca. Aku harus menyelesaikan perjalananku dan bertanya pada SANG RAJA AGUNG mengenai kitab ini.
Di tengah perjalanan, aku melihat goa besar. Rasa penasaranku terpacu. Di tengah gurun itu ada goa sebesar itu? Siapakah penghuninya? Apakah sebesar tempat tinggalnya itu? Aku mengintip-intip ke dalam.
Dalam bayang-bayang atap goa, aku masih bisa melihat jelas. Sesosok makhluk raksasa dengan sisik tajam dibagian ekor. Kulitnya yang tebal berwarna merah melapisi tubuhnya dan dua tanduk di kepalanya terlihat sangat tajam. Naga, itulah pikiranku. Makhluk legenda kata orang yang sekarang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Satu taringnya yang mencuat dari sela bibirnya makin membuat aku ngeri. Aku semakin mengamati naga itu. Mata sebelah kirinya mempunyai sebuah luka yang cukup serius kurasa.
Di sela-sela kakinya yang dilengkapi cakar-cakar yang kuat, aku melihat. Sebuah bunga putih. Cantik sekali. Walaupun masih kuncup dan terlihat akan mekar, aku yakin bunga itu akan sangat indah. Bunga itu menarik perhatianku. Naga ini mempunyai selera yang tinggi. Dia tahu barang bagus untuk dijaga.
Aku semakin nekat, aku harus memiliki bunga itu. Bunga yang unik, tumbuh di batuan dalam goa. Padahal sedikit cahaya matahari yang diserapnya. Tapi ia dapat tumbuh begitu indahnya. Aku mengambil pisau kecilku, berjaga-jaga kalau naga itu bangun.
Setiap langkah aku perhitungkan, aku meminimalisir suara berisik supaya tidak membangunkan naga itu. Aku melewati dua lubang hidungnya yang lebih besar dari kepalan tanganku. Nafasnya terasa panas. Yap, sedikit lagi aku mencapai bunga itu. Aku mencabutnya pelan-pelan sampai ke akar. Aku tahu tentang tumbuhan, ia tak dapat tumbuh tanpa akar.
Aku kembali hendak kabur sejauh-jauhnya dari naga itu. Tapi karena saking senangnya aku sudah mendapatkan bunga itu, aku tak sengaja menginjak ranting yang membuat suara ke-re-tak.
Naga itu terbangun dari tidurnya. Ia menatapku dengan sebelah matanya. Melihat bunga yang dijaganya aku rebut, naga itu semakin terjaga. Dihembuskannya api dari moncongnya. Karena aku yang kaget dan aku terlambat menghindar, tangan kiriku terbakar sedikit. Kulitku terkelupas, gosong dimakan api. Bahkan bajuku sampai bolong, bajuku satu-satunya yang melekat di tubuhku. Rasa perih segera menjalar sampai ke bagian kepala. Tapi aku tak perduli. Aku tetap menggemgam bunga putih itu di tangan kiriku dan berusaha menusuk naga itu dengan pisau kecilku.
Pikirku aku akan mati, aku tak sanggup bertarung dengan naga itu. Tapi rupanya, kedua kaki naga itu terantai kuat di tembok belakang goa. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku tidak mau bunga putih-ku direbut lagi oleh siapapun. Aku akan menjaganya walau harus mengorbankan nyawa.
Aku berlari mengitari naga itu dan berusaha merobek kulitnya yang tebal. Tapi usahaku sepertinya tak membawa hasil yang memuaskan. Sabetan tiba-tiba dari ekor naga menghempaskanku pada tembok goa yang keras. Aku meringis kesakitan. Sepertinya beberapa tulangku retak, bahkan patah. Tapi aku tak peduli.
Aku melihat sesuatu bersinar terselip di bawah kaki kanan sang naga, aku segera tahu itu adalah pedang bermata dua yang sangat tajam, pedang itu bertahtakan delima merah dan safir hitam, khas bangsawan. Sepertinya aku pernah melihatnya dulu, tapi itu hanya seperti bayang-bayang saja.
Aku menebaskan dengan satu tanganku pada ekor naga yang kembali menyerangku. Ekor naga itu putus dengan satu kali tebasan. Aku terkagum, pedang itu panjangnya sekitar lima kaki, namun terasa ringan di tanganku.
Naga itu mengerang kesakitan. Kepalanya diputar menatapku tajam. Ia berusaha melebarkan sayapnya sehingga meruntuhkan atap goa. Bumi terasa bergetar. Naga itu berusah menandukku dengan kedua tanduknya yang runcing sambil memamerkan taring-taringya. Aku memanjat tubuh naga itu yang kasar. Kulitnya ternyata benar-benar keras. Aku mencoba meraih matanya. Naga itu bergerak-gerak liar. Aku terpelanting jatuh ke samping tubuhnya. Cakar sang naga hampir saja mencabik tubuhku kalau saja aku telat satu detik menghindarinya.
Aku dengan beranih berjalan ke arah depan naga itu. Naga itu segera menyemburkan api-apinya dengan buas. Aku melompat ke arah kanannya. Naga itu menunduk untuk menandukku. Inilah kesempatannya. Aku menebas pedangku dengan cepat ke arah mata kanannya. Naga itu kesakitan. Ini luka yang parah. Sekarang aku berhasil melumpuhkan penglihatannya. Naga itu sudah buta total.
Tiba-tiba, hembusan api panas datang ke arahku. Aku kembali menghindar, namun karena buru-buru, pedangku terlepas dari genggaman dan terpental ke luar goa. Sepertinya naga itu mendeteksi keberadaanku dengan penciumannya itu. Aku tak dapat berlari keluar karena pintu masuk goa terportal dengan moncong naga yang besar. Ekor naga yang meliuk-liuk lemah mengalirkan darah hitam yang kental membuat aku jijik.
Aku melirik ke bunga yang kugenggam. Bunga itu tampak lelah kuajak berperang seperti ini. Aku harus menyelesaikan naga ini dengan cepat, kalau tidak bunga ini akan mati. Naga itu mengendus-endus bauku. Sepertinya bau darahnya menyamarkan bauku. Di tanganku tak ada senjata. Lalu aku tergelincir karena darah naga itu yang menghasilkan bunyi berdebum. Naga itu sekarang mengetahui posisiku. Gawat! Aku berusaha meraba apa saja di sekitarku sebagai pertahanan diri. Dan aku menemukan ranting yang pertama kali kuinjak, ujungnya yang patah membuatnya berbentuk runcing. Ini harapan terakhirku.
Naga itu bersiap mengeluarkan apinya lagi. Aku dengan gesit menghindar. Api itu melesat jauh di samping kiriku. Butanya naga ternyata tidak membuat aku lebih mudah. Naga itu menggepakkan sayapnya kembali membuat reruntuhan namun sebuah batu besar malah menimpa kepalanya. Naga itu kesakitan, ia membuka moncongnya lebar-lebar. Inilah saatnya! Aku melempar sekuat tenaga ranting di tanganku hingga menanjap keras di langit-langit mulut sang naga. Sedetik kemudian, naga itu ambruk. Ia mati. Aku memenangkan pertarungan dengan sang naga.
Aku berjalan keluar dengan gontai melewati bangkai naga, aku meninggalkannya sendiri di sana. Lalu aku menemukan pedang itu lagi. Perak yang berkilauan ditimpa sang surya membuat pedang itu terlihat luar biasa. Darah sang naga setetes pun tidak melekat pada pedang itu. Aku tersenyum kembali pada perjalananku. Di tangan kananku, kugenggam bunga itu. Di tangan kiriku, kupegang pedang itu. Dan kuraba saku mantelku, ternyata BUKU TUA itu aman karena berada di bagian kanan. Aku tersenyum senang melupakan rasa sakitku. Kini kumiliki semuanya, sesuatu yang baru untuk menemaniku di perjalananku selanjutnya.
Aku meneruskan perjalananku. Sekarang aku harus menemukan air dan tanah yang baik di padang belantara ini. Pasti ada oasis, ada mata air yang dapat memberi aku dan bungaku minum. Aku menamai bungaku Sweety.
Malam hari itu terasa lebih dingin. Tangan kiriku mati rasa sebab tak ada lagi kain yang menutupi kulitku, bahkan tak ada kulit yang menutupi daging. Lukanya serius, aku masih bisa merasakan panasnya api saat api itu melahap habis kulitku, hanya meninggalkan bekas yang akan kukenang selamanya. Aku tersenyum, ada rasa bangga, sebuah perjuangan, sebuah pengorbanan untuk mendapatkan Sweety-ku. Aku terlelap menghitung bintang. Sweety-ku aman dalam dekapan dadaku.
Cahaya matahari pagi membangunkanku. Aku mengerjapkan mata untuk membuat pupil mataku menyesuaikan dengan cahaya yang menyilaukan. Tak ada kicau burung yang ada hanya desiran pasir yang berhembus ditiup angin. Aku tak peduli, ada Sweetyku di sini.
Aku terus berjalan dan berjalan. Tiba-tiba aku menemukan sebuah lembah. Aku penasaran. Aku memang orang yang ingin banyak tahu walaupun tak semua hal kuketahui.
Aku melongokan kepalaku ke dasar lembah itu. Lembah itu bertebing curang. Akar-akar pohon gurun yang mencuat keluar dinding menahan dinding tebing agar tidak longsor. Di dasar lembah ada sebuah aliran air kecil mengalir. Di seberang aliran air itu banyak bunga serupa seperti Sweety. Berwarna-warni memikat hati. Di seberang aliran air itu pula kulihat ada tanah yang cukup subur untuk tempat Sweety hidup. Aku memutuskan menuruni lembah yang curam itu. Tapi begitu lebatnya akar-akar pohon yang mencuat membuat aku tersangkut beberapa kali. Kulit-kulitku disayatnya tanpa ampun. Aku meringis nyeri. Tapi aku tak peduli. Aku mencapai dasar lembah dan segera membenamkan diriku ke dalam air.
Segar! Sekaligus nyeri. Air membasuh kulitku, membersihkannya dan membawa pergi darah-darah yang mengalir dari lukaku. Aku meringis lagi. Air itu seperti jarum-jarum kecil yang ditusuk-tusukan ke dalam dagingku.
Aku memberi Sweety-ku minum juga. Warna putihnya cemerlang, tidak ternoda sedikitpun dengan darahku, tentu saja, aku menjaganya dengan hati-hati, lebih daripada menjaga nyawaku sendiri.
Setelah puas minum, aku segera keluar dari aliran air itu dan keluar dari sisi yang berlawanan dengan arah datangku tadi.
Aku semakin takjub. Bunga-bunga warna-warni yang kulihat dari puncak lembah tadi lebih indah dari sini. Semuanya masih kuncup sama seperti Sweety-ku. Aku mencabut pelan bunga-bunga itu sampai ke akar-akarnya dengan hati-hati. Tidak semua bunga dapat kuambil. Lalu aku menaiki tebing dan akar-akar pohon menjadi tempat aku berpijak dan bergelantung. Aku sampai di puncak lembah. Benarlah dugaanku. Tanah disitu lebih baik daripada di dasar sungai. Aku segera meletakkan perlengkapan yang kubawa, melepas bajuku dan mulai menggali.
Aku menggali dengan jari-jariku. Terasa perih. Kuku-kuku-ku kotor, penuh dengan lumpur. Tapi aku tidak peduli. Aku membuang batu-batu kecil, menggali cukup luas untuk bunga-bungaku.
Aku menanam bunga-bunga itu semua. Aku kembali turun untuk mengambil bunga-bunga yang masih banyak di dasar lembah sana. Aku tidak mengenakan bajuku. Aku tidak mau mengambil resiko bajuku akan makin koyak. Sebagai gantinya, kulit-kulit tubuhku-lah yang terkoyak. Aku sekali lagi tidak peduli.
Aku turun dan mengambil bunga-bunga itu lagi, menaiki tebing lalu menanam. Menuruni lembah lagi, mengambil bunga lalu menaiki tebing untuk menanamnya kembali. Begitu seterusnya. Sampai petang hingga fajar masuk ke peraduannya aku baru berhenti. Aku hanya menuruni lembah sekali lagi untuk mengambil air dengan bajuku untuk menyiram bunga-bungaku.
Aku melihat sebuah padang bunga di tengah padang gurun ini, padang belantara.
Aku berburu belalang gurun dan sarang lebah yang sudah menjadi makananku selama di padang belantara ini. Dulu aku harus menebang pohon-pohon kaktus untuk mendapatkan air dari batangnya, sekarang aku hanya harus mengambilnya di dasar lembah. Aku telah menebang akar-akar pohon dengan pedangku yang menjadi lintasanku meluncur ke bawah, jadi aku dapat meminimalisir luka-luka di tubuhku.
Hari telah jauh malam, aku melanjutkan kembali membaca BUKU TUA itu.

Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan bagi SANG RAJA!

Siapakah suara yang berseru-seru di padang gurun seperti ini? Tak ada suara oranglain yang kudengar selain suaraku sendiri sampai saat ini.
Aku meneruskan membaca.

Di situ akan ada jalan raya, yang akan disebutkan Jalan Kudus; orang yang tidak tahir tidak akan melintasinya, dan orang-orang pandir tidak akan mengembara di atasnya.

Jalan yang mana ini? Aku ingin menuju jalan ini. Apakah aku layak melalui jalan ini?
Aku dapat tertidur lelap malam ini di tengah-tengah padang bunga. Aku sangat berharap bunga-bunga ini akan segera mekar. Aku tidur di samping Sweety.
Lagi-lagi cahaya matahari-lah yang membangunkanku. Entah aku harus mengeluh entah aku harus bersyukur menghadapi tiap hari yang baru. Aku memulai hariku dengan menyirami bunga-bungaku, sepertinya mereka haus. Dengan cepat tanah tempat mereka bertumbuh menyerap air yang kusiram. Aku senang melihat padang bunga ini. Aku kembali mengambil bunga-bunga itu lalu menanamnya kembali. Entah mengapa aku melakukan ini, padahal aku tidak mendapat upah. Aku mulai menyusun bunga-bunga itu menjadi suatu lintasan, suatu jalan untuk dilalui supaya aku ingat di mana aliran air itu.
Setelah habis semua bunga di lembah itu aku tanam, aku melihat hasil pekerjaanku. Bunga-bunga itu membentuk suatu jalur lurus sampai ke ujung.
Waktu cepat berlalu dan hari mulai malam kembali.
Aku duduk di samping Sweety. Angin malam yang berhembus semilir menggoyangkan Sweety. Aku melanjutkan membaca BUKU TUA.
Ternyata semalam aku terlelap. Begitu bangun, aku mendapati Sweetyku lunglai. Ia layu. Warnanya yang putih bersih sekarang tampak pucat. Aku bingung. Aku merawatnya dengan ekstra hati-hati, aku paling memperhatikannya, aku yang selalu menjaganya, aku mengorbankan nyawaku untuk mendapatkannya, aku yang menaruh harapan padanya ingin melihatnya mekar. Sekarang apa yang kudapat? Sweety-ku layu, ia sekarat, bahkan mungkin mati. Kelopaknya berguguran satu persatu. Aku sedih, aku menangis. Aku menyesali dan kembali mengingat. Salah apa aku sehingga Sweety begini?
Aku menghabiskan sepanjang hari itu hanya berdiam diri duduk di samping Sweety. Tak peduli terik matahari atau angin kencang, aku ingin tetap bersama Sweety. Aku menangis sangat sedih. Aku terluka sangat dalam. Hatiku hancur lebur mendapati harapanku sudah sirna. Lama aku termenung. Aku tak dapat tidur malam itu sampai pagi menjelang. Akhirnya, aku memutuskan untuk menyiram sekali bunga-bunga yang lain dan Sweety. Aku melanjutkan perjalananku, tujuan awalku bertemu SANG RAJA. Aku berusaha melupakan Sweety, harapanku yang indah, sekarang ada di belakangku, aku memunggunginya. Aku berjalan menjauh. Sweety-ku pergi meninggalkan aku.
Aku berjalan dan terus berjalan, rasa lapar dan haus tak kupedulikan. Sampai jauh malam aku terus berjalan sampai kutemukan sebuah tebing batu tinggi menjulang di depanku. Aku bersandar padanya dan terlelap. Seperti biasa, aku dibangunkan sinar pagi. Aku menggeliat memunggungi sinarnya supaya aku dapat terlelap lebih lama tapi malah aku disengat oleh panasnya. Surya benar-benar memaksa aku untuk bangun. Aku terduduk tegak mengusap mataku lalu aku bangkit berdiri, berbalik untuk memperhatikan tebing batu tempat sandaranku. Tiba-tiba mataku menangkap warna putih yang tersembul dari celah-celah batu. Tak jauh dari tempat di mana aku berdiri, hanya sejinjit kaki saja aku dapat mengambilnya. Tapi aku teringat pada Sweety, aku jadi malas mengambilnya. Aku berjalan menjauh hendak pergi. Aku menengok ke belakang, aku berhenti. Aku menengok sekali lagi. Nuraniku memaksaku untuk kembali dan membawa bunga itu serta. Akhirnya, nuraniku yang menang. Aku mengambil bunga putih itu dengan mudah. Aku mengantonginya dan melanjutkan perjalananku.
Aku berpikir-pikir sepanjang perjalanannku. Bunga itu dapat tumbuh di batuan dengan air yang sangat minim, namun bunga itu tampak berkilau dengan warna putihnya. Hatiku masih sakit, aku tidak mau terlalu memperhatikan bunga lain selain Sweety-ku yang walaupun sudah pergi tapi tak pernah benar-benar pergi dalam memoriku.
Aku berjalan kembali hendak menanamkan bunga itu di ujung jalan bunga-bunga lain yang sebelumnya sudah yang kutanam. Beberapa sudah mekar sedikit namun yang lainnya masih kuncup. Aku mengais tanah lagi dengan jari-jemariku yang sudah menebal di bagian ujungnya karena kapalan. Ini tenaga terakhirku, aku sudah teramat kelelahan. Sudah seharian aku belum makan dan minum. Aku tergeletak tak berdaya dan tertidur sampai tengah malam.
Aneh, ini malam yang aneh. Aku belum pernah bertemu dengan seorangpun di padang gurun ini. Tapi apa yang dihadapanku adalah seorang perempuan muda yang cantik. Aku belum pernah melihat seorang gadis seperti dia. Pakaiannya berwarna merah muda dengan beberapa selendang melingkar di lengannya. Dia duduk diam di atas sebuah dahan kayu besar yang sudah kering, menatapku yang baru saja memelekkan mata. Ia memangkukan kedua tangannya di atas pahanya yang tertutup gaunnya yang merah muda sampai ke ujung kaki.
“Siapa kau?” tanyaku. Dia lalu tersenyum ke arahku.
“Akhirnya kau bangun Pangeran. Aku sudah menunggumu bangun berjam-jam yang lalu. Kau sangat tertidur pulas.”
“Siapa namamu?” aku mengulang pertanyaanku.
“Aku ini bunga yang kau temukan tadi pagi. Sebuah mawar sharon. Kami hanya tumbuh di padang belantara ini. Dan kau menanyakan namaku? Kau yang harus memberi nama kepada kami Pangeran karena kau yang menemukan kami.”
“Kami? Siapa yang kau maksud kami?”
Gadis itu menunjuk pada bunga-bunga yang hanya bergoyang ditiup angin malam.
“Aku tidak mengerti. Apakah kau seorang putri?”
“SANG RAJA telah berpesan. Kalau aku ditemukan oleh seorang pangeran dari KERAJAAN ABADI, maka aku pun diangkat oleh RAJA YANG MAHA AGUNG sebagai putriNYA juga.”
“Siapa namamu?” aku mengulang pertanyaanku.
“Kau yang akan memberi aku nama Pangeran,” gadis itu masih menatap mataku tepat di kedua maniknya.
“Aku...” aku ragu-ragu. Memberi nama akan menciptakan suatu hubungan yang terikat, aku teringat Sweety. Aku memberinya nama dan merawatnya. Namun, ia malah pergi meninggalkanku,
Gadis itu menangkap sorot ragu-ragu di mataku. Senyumnya lenyap dari bibirnya, namun hanya sekejap saja. Ia kembali tersenyum lagi.
Aku terjaga di pagi hari. Terlalu cepat untuk bangun. Bahkan aku mendahului bangunnya sang surya.
“Apa aku bermimpi?” tanyaku pada diri sendiri. Kulihat bunga putih yang baru kutanam. Warnanya berubah menjadi merah muda. Apa benar gadis itu adalah jelmaan dari bunga ini. Bunga apa ini? Sepertinya gadis itu telah mengatakannya tadi.
Aku kembali menyusuri padang bunga itu, mengambil air. Entah ke mana rasa lelahku. Aku meneguk air sebanyak-banyaknya dan kembali menyiram bunga-bunga itu. Aku masih berharap benar-benar ada sebuah jalan di padang belantara ini. Aku meneliti satu per satu. Angin gurun yang kencang mematahkan batang-batang beberapa bunga yang lemah. Aku mencabutnya dan menyingkirkannya di tepi lalu menggantinya yang baru dari bunga di dasar lembah yang mulai tumbuh kembali. Aku mengintip di bawah pohon tempat Sweety tumbuh dulu. Bahkan bangkai tubuhnya yang layu dulu tak ada lagi di tempatnya. Rasa aneh menyusuri dadaku, antara rasa cintaku untuk peduli atau ego-ku untuk melupakannya. Aku memilih melupakannya. Mungkin tidak bisa tapi aku akan mengusahakannya.
Aneh, dari dasar lembah itu tumbuh bunga-bunga ini dengan sendirinya, nampaknya begitu kuat, namun ketika ku tanam di atas sini, tak semua dapat tetap tegak. Hanya yang mampu bertahan menghadapi keganasan padang gurun ini yang dapat tetap hidup.
Aku kembali kepada bunga merah muda di ujung jalan. Aku menyiramnya dan berharap malam segera datang dan gadis itu, kalau memang jelmaan dari bunga ini, aku berharap dia hadir dalam mimpiku.
Aku membaca-baca BUKU TUA itu, menunggu waktu datangnya malam. Aku mencoba menahan kantuk tapi akhirnya aku terlelap juga. Ketika kubuka mata, langit malam bertabur bintang yang menjadi pemandanganku pertama kali, sangat indah sekali.
“Kau sudah bangun?” sapa suara yang sudah aku kenal, suara gadis itu.
“Ori?” akhirnya aku memutuskan memanggilnya begitu.
“Ori? Jadi itu nama untukku?” gadis itu membulatkan matanya senang. Sekarang namanya Ori dan akulah yang memberinya nama sebab akulah yang menemukannya.
Aku mengangguk. Dia berjalan mendekat kepadaku yang masih tertidur beralaskan pasir. Di tangannya ada perban dan kain halus. Ia menyentuhkan kain itu kearah lukaku, luka di tangan kiriku. Rasanya dingin menyejukkan. Perlahan tapi pasti, luka-luka itu langsung sembuh, tak ada rasa sakit yang kurasa, hanya sebuah bekas luka yang kini tampak tiada arti.
“Terimakasih,” kataku menatapnya. Ori tersenyum ke arahku. Aku senang melihat senyumnya. Hari ini ia mengenakan gaun ungu muda.
“Hei, mengapa kau begitu mudah berubah warna, maksudku bajumu,” kataku menunjuk gaunnya yang menyapu pasir di sekelilingnya.
“Karena begitulah cara aku bertahan hidup. Ingat di mana kau mendapatkanku?”
Aku ingat, di tebing batu. Memang sulit untuk bertahan hidup di tempat seperti itu.
Lalu kami mulai bercerita. Atau lebih tepatnya aku bercerita. Aku menceritakan bagaimana aku menemukan Sweety, bagaimana perjuanganku sampai aku mendapat luka di tangan kiriku dan bagaimana akhirnya Sweety pergi meninggalkanku. Aku menangis lagi mengingat semuanya itu. Aku menangisi luka lamaku yang kembali terbuka menganga seakan-akan menertawakan kepayahanku, kelemahanku bahwa untuk menjaga setangkai bunga yang sudah diperjuangkan pun aku tak mampu.
Ori menyimak betul ceritaku. Ia ikut hanyut dalam kisahku dan mulai menangis saat aku menangis dan tertawa saat aku menceritakan rasa senangku mengalahkan naga dan berhasil mendapatkan Sweety. Fajar segera bangun sebentar lagi, aku tak ingin memejamkan mata tapi belaian lembut tangan Ori di rambutku semakin membuai aku kembali ke alam tak sadar. Aku kembali terlelap.
Sinar pagi menembus kelopak mataku. Aku melewati malam yang panjang. Hari ini aku bangun dengan semangat. Aku mengambil air, menyiram bunga-bunga itu lalu melihat apakah ada bunga yang patah lagi. Aku menyiram Ori. Warnanya ungu muda, seperti bajunya tadi malam. Aku tersenyum menatap bunga yang kutemukan itu.
Ori bukanlah yang pertama. Aku menemukannya dengan tidak sengaja. Awalnya aku ragu untuk mengambilnya padahal Ori tidaklah sulit untuk kudapatkan. Mungkinn Sweety adalah bunga yang sulit untuk aku miliki tapi akan lebih sulit untuk kehilangan dan melepas Ori saat ini. Bunga yang awalnya tak pernah diperhitungkan namun sekarang mulai menarik perhatianku. Warnanya yang unik membuat aku semakin tertarik untuk mengamatinya. Dua malam ini Ori hadir terus dalam mimpiku. Kalau itu adalah benar-benar mimpi, aku berharap dan sangat berharap, aku tak pernah terbangun.
Malam itu aku menunggu saat dunia mimpi tiba. Tapi rasa kantuk yang kuinginkan malah tak kunjung datang. Akhirnya kubaca-baca BUKU TUA dengan senter. Kubolak-balik buku itu, semakin kubaca aku semakin mengenal SANG RAJA. Tentang segala perbuatan SANG RAJA yang begitu luar biasa, tentang janji-janji indah SANG RAJA, tentang KERAJAAN ABADI yang tak pernah terbayangkan manusia manapun di bumi ini.
Aku menutup BUKU TUA itu dan mengalihkan perhatianku pada Ori, bunga yang sekarang telah berhasil mencuri perhatianku.
“Terimakasih,” bisikku pada bunga itu. Ori seperti melambaikan tangkainya dengan angin semilir yang membuat aku kembali tertidur.
Aku sudah tak tahu di mana aku di bagian padang belantara ini, ke mana lagi aku harus melangkah dan sudah berapa lama aku seolah-olah terperangkap di sini. Hari ini tubuhku sangat sakit, aku tak mampu bangkit berdiri terlalu lama atau berjalan jauh untuk menuruni lembah mengambil air menyirami padang bungaku. Aku duduk dan menunggu datangnya malam. Hanya Ori yang sekarang menjadi penghiburanku.
Di kejauhan aku menangkap sesosok bayangan. Bayangan manusia. Aku melambaikan tanganku tinggi-tinggi dan berteriak sekencang-kencangnya. Berhasil! Sepertinya orang itu mendengar. Kini orang itu berjalan kian mendekat dan mendapati aku duduk sendiri di sini diantara padang bunga-ku.
“Hai, Saudara. Darimana dan hendak ke mana kau datang?” tanyaku pada pria bertubuh gempal dihadapanku.
“Aku hendak mencari jalan pulang ke kerajaan ayahku. Aku harus meneruskan perjalananku. Ada apa Saudara? Pertolongan apa yang bisa kuberi padamu?” tanya pria itu.
“Aku sedang sakit. Tolonglah berikan air pada bunga-bungaku. Mereka terbiasa kuberi air tiap hari,” kataku meminta.
“Saudara, sudah kukatakan perjalananku masih jauh, aku pun membutuhkan persiapan air ini,” katanya menolak.
“Kumohon. Lihatlah bunga-bunga ini. Mereka sangat memerlukan air,” aku memohon.
Ia memandang sekelilingnya dengan rasa takjub.
“Wow, Saudara. Ini adalah bunga-bunga mawar Sharon yang hanya dapat tumbuh di padang belantara. Mereka seharusnya mampu bertahan di padang gurun seperti ini. Tapi, dari mana kau dapati semua bunga-bunga ini? Yang aku tahu, mereka hanya tumbuh di dasar-dasar lembah.”
“Aku mendapatinya di dasar lembah di ujung jalan ini. Jika kau mengikuti jalan ini, kau akan menemukan bunga-bunga ini tumbuh liar di samping aliran sungai. Biasanya aku mengambil air di sana untuk menyiram mereka. Tapi hari ini aku begitu sakit sampai-sampai tak dapat berdiri. Tolonglah Saudara. Berilah mereka minum dan kau dapat mengambil persediaan air-mu di dasar lembah itu. Kau juga akan menemukan mawar-mawar Sharon seperti ini,” kataku membujuk sekali lagi.
Pria gempal itu setuju. Diberinya air semua bunga-bungaku. Aku meminta sebotol air lagi untuk diriku dan untuk Ori.
“Terimakasih Saudara,” kataku menjabat tangannya.
“Ada apa dengan bunga ini? Mengapa iya begitu kau lindungi?”
“Mawar ini spesial. Dia kutemukan di tebing batu yang jauh di sana. Maka itu aku sangat menyayanginya.”
Pria gempal itu mengangguk-angguk. Ia segera menyusuri jalan bunga menuju lembah. Mengambil air dan memasukannya dalam gentong dan sejumput mawar-mawar Sharon lalu menanamnya menjadi suatu padang bunga yang membentuk sebuah jalan lain.
“Oh, yah, aku lupa bertanya di mana kerajaan saudara tadi,” aku menepuk dahiku.
Sekarang aku bisa sedikit tenang. Bunga-bungaku takkan kubiarkan layu karena kekurangan air.
Aku meneruskan perjalananku untuk mencari mawar-mawar Sharon yang lain untuk meneruskan membuat jalan sampai pada KERAJAAN ABADI. Aku mengembara berputar-putar di padang belantara ini dan menemukan beberapa mawar-mawar Sharon yang lain. Kutanamkan semuanya itu dalam satu jalur yang membentuk sebuah jalan.
Kadang aku harus bertarung melawan singa gurun yang ingin mengacaukan kebun bungaku atau anjing-anjing yang iseng ingin menghancurkannya. Ada juga ular-ular beludak yang ingin membinasakan bunga-bungaku dengan bisanya yang beracun, namun semuanya kuhadang, kutebas dengan pedangku. Aku akan menjaga semua kepunyaanku, aku tak mau kehilangan mereka. Sebab bunga-bungaku, sedang kupersiapkan untuk membentuk suatu jalan menuju kepada KERJAAN ABADI untuk menyambut datangnya SANG RAJA MAHA AGUNG.