Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Selasa, 25 Desember 2012

Sembilan Lainnya


Ini baru pertama kalinya aku berada di pesta ini setelah tahun-tahun sebelumnya selalu kutolak. Harus aku akui, memang alasannya karena pesta ini adalah pesta natal. Aku tak suka natal. Pesta ini hanyalah ajang untuk saling pamer dalam segala kemewahan yang ada. Seolah setiap orang berlomba membeli barang-barang bagus dan mahal dan mendorong orang-orang semacam ini menjadi konsumen yang akut.
Natal itu...ah, ketika lonceng-lonceng gereja berbunyi menandakan malam natal dan setiap orang pergi ke gereja untuk merayakannya sambil menyanyikan lagu ‘Malam Kudus’ itu, aku hanya sedikit berpikir dalam otakku. Benarkah malam itu malam yang kudus? Ketika di lorong jalan yang sempit dan gelap seorang perempuan diperkosa oleh tiga pria tak dikenal kemudian merampas uangnya, ketika beratus-ratus penderita busung lapar tetap kelaparan di Afrika sana, atau ketika para tunasusila tetap gencar melakukan aksinya, ketika tempat perjudian tetap digelar, pesta seks dan narkoba diadakan, masih bisakah malam itu disebut malam yang kudus? Sunyi senyapkah ketika setiap hati berteriak dan setiap mulut mengaduh sakit?
Dan disinilah aku bersama perempuan itu. Karena perempuan itulah aku hadir di sini. Ah...aku rasa ini keputusan yang salah. Jadi aku mengambil tempat duduk di salah satu pojok ruangan yang jauh dari pengeras suara yang berdentum memekakkan telinga. Aku melihat perempuan itu dengan setelah dress selututnya berwarna hijau tua dari beludru. Sederhana, dengan model yang tidak terlalu terbuka. Sepasang sarung tangan hitam dari beludru menutupi kedua telapak tangannya itu, clutch kecil berwarna hijau tua senada dengan bajunya dan sepasang pantofel hitam mengkilap di kakinya. Selebihnya, hanya sepasang anting yang telah dipakainya bertahun-tahun dan sebuah cincin emas melingkar di jari manisnya tanda kesetiaannya terhadap pernikahannya.
Sekelompok perempuan lain menghampirinya lalu terjadilah obrolan yang sempat kudengar itu.
“Halo Anne, jadi ke mana liburan kali ini?” tanya sesosok perempuan yang aku tahu namanya adalah Elly yang mengenakan gaun berkerah berwarna merah menyolok yang persis sama seperti Jessica Avantie, model yang sekarang memiliki honor tertinggi.
“Hanya mengikuti sebuah tour ke Perancis lalu berkeliling Itali,” sahutnya bangga, jelas sekali dari nada bicaranya. Anne memakai gaun malam yang bagus berwarna hitam legam dengan tali spageti anggun yang melingkar manis di pundaknya. Tak usah kau sebutkan pun aku tahu itu karya Johansen Jonas, perancang TOP di Milan itu.
“Wah, apa kau bisa bahasa Perancis atau Itali?” tanya Mischa, perempuan lainnya yang memegang sampagne di tangannya. Dia ini yang paling menyolok diantara ketiga perempuan yang lain. Seuntai kalung mutiara melingkar di leher jenjangnya, sebuah gelang emas murni bertengger mewah di pergelangan tangan kirinya dengan ukiran seniman ternama, dan sebuah cincin berlian berkarat tinggi tersemat manis di jarinya, tak lupa sejuntai anting dari batu safir merah yang sangat mahal itu, ikut menghias telinganya. Tampaknya ia sedang memamerkan seluruh kekayaannya. Tapi menurut pandanganku seolah dirinya ingin berkata, “Ayo perampok, rampok aku!” lalu aku tertawa kecil dengan imajinasiku itu.
“Tenang, tour ini akan siap membantu sehingga kami tidak akan mengalami kesulitan apa-apa.”
“Berapa harganya?” tanya perempuan dress hijau tua itu, Margaret.
“Dua ribu dolar untuk anak dibawah 17 tahun dan tiga ribu dolar untuk orang dewasa. Tujuh hari perjalanan untuk harga yang demikian murahnya,” lalu Anne tertawa kecil menunjukkan diri bahwa uang sejumlah demikian terlalu sedikit untuk dirinya.
“Oh yah Meg, ini ada oleh-oleh buatmu.” Mischa mengeluarkan sebuah gantungan perak dari dalam tas tangannya yang berwarna emas, senada dengan gaun coklat mudanya itu.
Lambang bendera USA menghiasi bagian depannya. “Wah, kau dari Amerika?” tanya Elly antusias. Mischa hanya mengangguk. Kedua perempuan yang lain tidak mendapatkan oleh-oleh dari Amerika itu. Aku tahu apa maksudnya, mereka menganggap hadiah yang diberikan itu tak seberapa dan cukuplah untuk ukuran Meg, panggilan untuk Margaret.
“Terimakasih Mis,” jawab Meg cukup sopan sambil memasukkannya ke dalam clutch nya itu.
“Kau ke mana Elly? Aku belum mendengar ceritamu,” seru Anne tak sabaran.
Well, maaf sebelumnya karena tak bawa oleh-oleh untuk kalian. Aku terlalu sibuk mencari sunblock karena kehabisan persediaan. Ternyata liburan ke Hawaii-ku diperpanjang diam-diam oleh suamiku sebagai kejutan. Betapa senangnya aku, meski itu tadi, aku jadi harus membeli beberapa botol sunblock lagi. Berjemur di Hawaii tentu mengasyikkan!” Tidak penting! Celutukku dalam hati.
“Dan kau Meg, ke mana kau akan berlibur?” Anne kemudian beralih pada Meg.
Meg berdehem sekali untuk membersihkan tenggorokannya. “Aku sepertinya akan tetap di sini bersama keluargaku.”
“Dan mengurus pantimu itu?” sahut Mischa lalu diiringi tawa dari dua temannya. Meg hanya tersenyum. Sudah kuingatkan padamu Meg, kau tak juga mau mendengarkan. Pesta ini tak perlu didatangi, lakukan saja seperti tahun-tahun sebelumnya, menolak. Hanya embel-embel ‘natal’ saja yang menjadikannya terlihat tampak sederhana, namun ini hanyalah ajang pamer kekayaan yang tak perlu itu.
“Aku akan ke sana dulu untuk mengambil air.” Meg berlalu menuju meja gelas-gelas cantik tertata untuk mengambil segelas air dan meneguknya perlahan. Aku hanya duduk di sini dan memperhatikan saja. Aku malas berbaur. Biar saja orang-orang itu lewat, menatap ke arahku, saling melempar senyum sopan lalu segera berlalu. Begitu lebih baik.
Meg dan aku diundang ke sini karena kami dikenal dari panti asuhan yang kami kelola. Sebenarnya, tidak layak menyebutnya panti, aku lebih suka mengatakan ‘Rumah Kebersamaan”. Anak-anak itu perlu kasih sayang. Membagikan sedikit hal yang dinamakan kasih, yah memang baru sedikit dari berjuta-juta hal besar lainnya yang mereka butuhkan. Tapi kasih itu mendasarkan semuanya.
Dan kumpulan ini sebenarnya adalah komunitas gereja di kota ini, ketua majelis yang menjadi tuan rumah inilah yang mengundang kami. Aku rasa Meg sudah menyadari bahwa keputusannya menghadiri acara ini adalah salah.
Ketika acara sudah usai dengan terasa sangat sia-sia bagiku, akhirnya tibalah giliran pulang. Satu persatu mobil yang tadinya diparkir rapi di halaman rumah yang lapang ini menjemput di depan ball dan satu persatu menunggu gilirannya. Kami mendapat giliran hampir akhir. Hanya tersisa beberapa saja. Tentu saja, Anne, Mischa, dan Elly menunggu Meg pulang dulu. Rupanya mereka belum puas untuk mencibir kembali mengenai kesederhanaan Meg itu.
Sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat dihadapan kami. Betapa pemandangan di depan mereka membuat Anne, Mischa, dan Elly serta beberapa orang yang masih tersisa di sana tercengang. Obrolan mereka seketika berhenti melihat mobil sedan itu.
Meg telah menuju pintu di ujung sebelah sana dan masuk setelah dibukakan pintu oleh supir kami, Pedro.
“Ada apa?” tanyaku sebelum Pedro membukakan pintu untukku.
“Mobil kalian ini kan bahkan belum dipakai oleh siapapun di dunia ini. Bukankah baru akan rilis beberapa bulan lagi?!” seru Anne, agak berlebihan bagiku.
Aku menyadari, mobil sedan hitam ini telah diiklankan dengan sangat bombastis sebelum diluncurkan dipasaran. Semuanya yang melihat iklan ini tahu bahwa mobil ini baru akan ada beberapa bulan kemudian. Semuanya aku yakin, ingin berlomba memilikinya. Hanya akan ada sepuluh mobil seperti ini di seluruh dunia. Siapa yang memilikinya pastilah akan menambah gengsi mereka karena harganya yang fantastis itu akan menjadikan diri mereka berlabel ‘Orang yang sangat kaya’.
Aku tersenyum kecil. “Ini pemberian.”
“Sudah kuduga,” celutuk Mischa cepat. Terlalu cepat hingga membuat aku sedikit kesal. Rasanya tanganku gatal ingin mendaratkannya ke pipi mulusnya sekali saja, agar bibirnya terkunci rapat.
“Dari siapa?” tanya Elly penasaran. Beberapa pasang mata memperhatikan dengan antusias. Pedro telah membukakan pintunya bagiku.
“Dari pemiliknya perusahaan langsung,” jawabku sambil masuk ke dalam mobil dan duduk di dalamnya.
“Bagaimana kau bisa kenal dengannya?” Mischa bertanya lagi.
Sebelum pintu ditutup oleh Pedro aku sempat menyahut, “Tentu aku kenal. Dia ayahku.” Pintu tertutup dan mobil itu berjalan mulus, semulus aku berhasil mengunci rapat bibir Mischa yang menyebalkan itu.
Aku masih bisa melihat raut wajah antara takjub dan tidak percaya, antara kesal dan malu atas sikap mereka tadi. Hah! Natal, natal. Pembodohan besar bagi orang-orang naif seperti mereka yang mengukur segalanya dari materi yang dimiliki.
Setidaknya Meg benar, kita akan tetap di sini. Ayah akan pulang besok setelah negosiasi terakhirnya hari ini. Mobil kesembilan yang dijualnya. Dan kami, kami bahkan sudah duduk manis dan menikmati keliling kota dengan mobil idaman orang-orang di luar sana yang baru akan mendapatkannya beberapa bulan kemudian setelah kami puas menikmati kemewahan mobil ini ketika sembilan mobil lainnya baru diluncurkan dan kemudian kami akan mendesain yang baru untuk dijual kembali.

Rabu, 12 Desember 2012

Ayah Patricia

Aku pernah mengenal seseorang, samar-samar dalam ingatanku. Kalau tidak salah saat aku masih duduk di bangku SD. Aku mengenalnya di tempat kursus bahasa Inggris. Dulu, masalah kasus korupsi tidak se-Booming seperti saat ini, belum mendapat tempat menjadi lahapan media massa yang haus akan berita dan berusaha mencari sensasi belaka.
Anak itu berjenis kelamin perempuan, periang dan rajin. Cekatan, cantik, dan tidak sombong. Aku tahu dia anak seorang yang cukup berada dan berkaitan dengan kenegaraan, yang saat ini aku tahu mungkin ayahnya adalah salah satu anggota pejabat kelas menengah.
Dulu, belum ada kasus seperti Bank Century atau Hambalang di mana para pelakunya dengan bangga memamerkan gigi-geligi mereka yang menggelikan itu di depan layar kaca. Bahkan mungkin wajah ayah perempuan itu tak terpampang di halaman utama koran. Aku tak tahu, aku tak kenal dan sampai saat ini belum pernah melihat wajah ayahnya. Bahkan wajah temanku itu saja aku sudah lupa.
Jadi, ketika itu, kelas belum mulai. Karena aku diantar jemput oleh layanan jasa seperti itu, aku datang lebih awal dari teman-temanku yang naik kendaraan pribadi. Karena kelasnya masih terisi murid-murid lain yang memakai kelas yang sama, aku menunggu sambil duduk di sofa yang empuk di ruang tunggu. Ada dia, ya ampun, bahkan namanya aku lupa, mungkin Patricia, atau Ellise, atau Alice, aku lupa.
Dia duduk sendiri dan wajahnya murung saat itu. Jadi aku menghampirinya dan berusaha mengajak mengobrol.
“Halo Pat,” akhirnya kita sebut saja namanya Patricia, aku benar-benar lupa.
“Hai,” jawabnya singkat tanpa memandang wajahku. Kakinya digores-goresnya ke lantai yang tampak mengkilap karena dibersihkan dengan telaten oleh petugas kebersihan yang ramah, aku sering menyapanya.
“Kenapa murung?”
Patricia menggeleng. “Papa mau ditangkap polisi.”
“Kenapa?” aku merasa sangat polos sebagai anak SD. Yang aku tahu, ditangkap polisi itu berarti karena kita sudah berbuat nakal, itu yang mama bilang kalau aku berbuat nakal, nanti ditangkap polisi. “Papa Patricia nakal yah?”
“Bukan. Katanya, papa sudah korupsi.”
“Korupsi itu apa?” aku benar-benar anak kecil yang polos.
“Korupsi itu ambil uang milik orang lain, kaya mencuri gitu,” jelasnya mulai mengangkat wajahnya.
“Jadi papa Patricia mencuri?”
“Bukan mencuri, tapi korupsi,” sanggahnya agak kesal.
“Oh, bukan mencuri, tapi korupsi.” Aku mengangguk tanda mengerti walau sebenarnya aku masih bingung.
Saat pelajaran hari itu, Patricia tampak diam, tidak seperti biasanya. Miss yang mengajar kami juga sampai heran. Tapi hari itu berlalu begitu saja.
Pertemuan berikutnya saat dua hari kemudian, Patricia tidak datang. Begitu juga minggu-minggu berikutnya. Patricia tidak pernah hadir lagi.
Saat membayar uang les di kantor administrasi (anak-anak les membayar uang les mereka sendiri dengan bahasa inggris, ini tempat kursus resmi) aku sekaligus bertanya pada petugasnya, tentu saja dengan bahasa inggris yang tidak lancar. “Miss, Patricia doesn’t come again, why?”
Petugas itu menatapku lalu tersenyum, “She is not here again because she stop studying English in here.”
Aku menangkap maksudnya bahwa Patricia berhenti les. Saat itu aku menganggapnya biasa. Aku baru mengerti saat aku duduk di bangku SMA. Ada nama yang pernah aku dengar, kali ini kasus yang serupa yang Patricia pernah ceritakan padaku, kasus korupsi. Mungkinkah itu adalah ayah Patricia?


Senin, 13 Februari 2012

Janji 10 tahun


Kamu nakal yah.
Padahal kita sudah berpisah jarak yang jauh tapi kamu masih saja muncul.
Waktu aku naik busway di kota Jakarta kamu muncul di jendela yang transparan itu. Padahal kendaraan sedang melaju dengan cukup kencang melalui fly over yang tinggi tapi kamu ada di sana.
Lalu aku turun dan menyebrang jalan. Lagi-lagi kamu ada, kali ini di mobil-mobil yang sedang menunggu aku menyebrang jalan. Ah, kau ini. mengganggu konsentrasiku. Kau tahu kan itu bahaya?!
Lalu ketika aku membeli karcis kereta dan menunggu di peron, kamu datang menghampiri bersama hembusan angin kering. Panas! Kau ingat betul, kau ciptakan suasana sebagaimana kita dulu. Kau benar-benar jahat! Mengapa kau begitu membuat aku membangun kembali masa lalu kita? Padahal kau sendiri sering berkata, “Sudah selesai.” Tapi tak juga kau lepaskan aku.
Aku sudah mencoba menghubungimu beberapa kali tapi kau menolak. Kau diam seolah kau tak ada di seberang sana. Aku mencoba diam, kali ini kau yang menyapa. Aku benar-benar tak mengerti maksudmu.
Kau buat aku penasaran lalu kau tinggal aku untuk membuat aku mencari dan tak mendapatkan. Kau kejam! Aku sudah bilang aku suka padamu. Kau diam lagi. Ah kau ini. Kau cuma anggap aku temanmu. Sepertinya aku berharap terlalu banyak yah. Sudahlah, kan aku sudah bilang akhiri saja tapi kau tak rela juga.
“Maumu apa?” kutanya kau tapi kau diam. Lalu aku pergi, kau menahan lenganku. Aku menoleh lalu kau menghilang seperti asap. Kau ini apa sebetulnya?
Peron kosong dan sepi ini saksi bisu diantara kita betapa aku merindukanmu. Lagi-lagi jarak, lagi-lagi diam. Kau duduk saja diujung bangku. Kau tak menyapaku, kau juga tidak menoleh. Aku di sini sayang, menolehlah. Rasanya aku berharap tanpa lelah. Rasanya aku akan segera mengakhirinya di sini saja.
Kau bilang, “Jangan pergi!”
Hanya itu saja kata-katamu tapi tak ada usahamu mencegah langkah kakiku. Pintu kereta tertutup kembali membawa aku ke tujuannya. Kau tak melambai. Kau ini benar-benar tak berperasaan! Selama ini kita apa? Kau menatap melalui kaca di depan mata-mu itu. Kau kira enak didiamkan seperti itu?!
Aku menelan ludah kembali. Sepertinya kelelahan ini akan segera berakhir ketika aku menginjakkan kaki di stasiun, dua atau tiga stasiun lagi lalu aku sampai.
Kau masih terduduk di kursi yang sama. Sepuluh tahun yang lalu. Menatap ke pintu persis ketika aku masuk ke dalamnya. Kali ini disebelahmu ada seorang anak laki-laki. Kuakui dia mirip denganmu. Apa? Dia memang anakmu. Ah, yah. Kita benar-benar berakhir yah?
Kau menggeleng, tidak katamu. Kita masih bisa bersama, janjimu. Tapi apa yang kulihat? Di sana ada anak yang bukan dari rahimku dan aku harus membesarkannya? Kau tega! Kau mau menyiksaku? Kau pikir aku pekerja sosial?
Kau memohon, kau bilang dia anak piatu, kau butuh istri dan anakmu butuh ibu. Aku bertahan. Aku bingung. Sebenarnya apa yang sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu?
Benar kan?! Kita sudah berakhir dan kau menikahi gadis impianmu itu? Jadi selama ini kita apa?
Kau jelaskan kau suka padaku juga. Terlambat! Mengapa tak sepuluh tahun yang lalu? Yang kau mau sekarang aku merawat anakmu itu karena kau begitu mencintai ibunya. Kau benar-benar keterlaluan! Aku tak mau. Aku sekarang akan meninggalkanmu lagi seperti sepuluh tahun yang lalu.
Yah benar, aku yang meninggalkanmu saat itu. Kau hanya bilang jangan pergi tapi tak mencegahku. Mana bisa itu membuktikan kau tertarik padaku. Aku mau lebih, aku menuntut lebih. Kau ini, tak pernah mengerti diriku, tak mengerti maksudku.
Aku egois? Yah, yah, kau yang mengatakannya karena aku tak bisa memenuhi keinginanmu juga kan? Aku tak mau merawat anakmu, dia bukan anakku! Seenaknya saja kau mengklaim kalau dia bakal jadi anakku kalau kita menikah. Tak bisa begitu. Aku menolak.
Sudahlah, ngomong denganmu tak akan usai. Paling kau yang mengakhiri dengan diam. Lihat kau terdiam sekarang. Sepertinya kereta-ku akan segera datang menjemput kembali.
Sudah yah, aku sudah memenuhi janji kan? Bertemu denganmu sepuluh tahun lagi di tempat yang sama, aku penuhi sekarang. Melepas rindu sekejab. Tak masalah masa lalu itu, tak perlu dikorek kembali.
Aku sudah membangun hidupku yang baru. Nah, keretanya datang. Kau tak mau mencegahku kali ini? Bukankah kau membutuhkanku? Kau diam lagi, artinya tidak. Kali ini aku tak menunggu lagi yah. Aku berangkat dulu. Mungkin tak kembali lagi. Suamiku menungguku.