Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Minggu, 12 Juni 2011

Koin Terakhir


“Daddy,” seorang pria cilik bergelayut manja di lengan ayahnya. Sang ayah menoleh lalu tersenyum. Diantara kumis-kumis ayahnya yang tebal, terpancar wibawa sang ayah.
“Aku mau bola itu,” pria cilik menunjuk sebuah bola di dalam lemari kaca.
Mereka sedang berada di arena permainan. Sang anak tidak menurunkan telunjuknya yang teracung lurus-lurus ke arah lemari kaca itu.
Sang ayah memeriksa dompetnya. Tinggal empat ribu. Satu koin berharga dua ribu rupiah, masih bisa membeli dua koin lagi, pikir sang ayah.
“Ayo, kita beli koinnya dulu,” sang ayah menuju meja counter penjual koin.
Ini uangku yang terakhir, batin sang ayah.
Pria cilik menatap ayahnya senang.
Sang ayah melangkahkan kaki ke arah lemari kaca tempat permainan harus dimainkan untuk mendapatkan bola sebagai hadiahnya.
Sang ayah memasukkan satu koinnya. Pria cilik menatap penuh harap-harap cemas.
Pluk...
MISI GAGAL.
Mesin permainan menampilkan tulisan itu besar-besar.
Pria kecil tampak sedikit kecewa, bahunya turun lunglai.
“Masih ada satu koin lagi,” hibur sang ayah.
Pria cilik mengangguk, kembali semangat dan melambungkan lagi harapannya yang sejenak jatuh tadi.
Seorang pria dewasa lainnya menyerobot, memasukkan koin mencoba peruntungannya juga.
Satu koin, hup...
Pria itu kurang beruntung, nyaris sekali iya dapat. Satu kali pukulan, mesin itu akan tepat mengenai bonus, daerah yang membuat mesin menghadiahkan bola.
Pria itu mengecek kantungnya, kehabisan koin, berdecak kesal lalu pergi.
“Ayo kita coba lagi,” ajak sang ayah.
Pria kecil melihat dari kaca samping sambil berkomat-kamit.
“Semoga dapet, semoga dapet.”
Sang ayah melirik sejenak, “Semoga harapanmu terkabul, Nak,” batin sang ayah.
Sang ayah mulai memfokuskan pikirannya pada permainan di depannya. Walaupun ini hanya sebuah permainan, entah mengapa sang ayah ingin sekali memenangkan permainan ini untuk mendapatkan bola yang diinginkan anak laki-laki yang sangat disayanginya.
“Ayolah,” sang ayah menyemangati dirinya sendiri.
Hup, koin dimasukkan.
Satu pukulan.
Tak...
BERHASIL!!!
Mesin menampilkan tulisan itu besar-besar. Bola meluncur dari lubang kosong pengambil hadiah.
Pria cilik tidak langsung mengambil bola idamannya tapi malah memeluk sang ayah.
“YEAH! MAKASIH DADDY, KITA BERHASIL DADDY, KITA BERHASIL! MAKASIH,” peluk pria cilik erat. Tubuhnya yang pendek harus meraih tinggi-tinggi pinggang sang ayah.
Sang ayah tertegun sejenak lalu membelai kepala anaknya. Pria cilik bangga pada ayahnya sementara sang ayah terharu. Anaknya lebih menghargai usahanya ketimbang hasil akhirnya. Ia tak meraih bolanya terlebih dahulu tapi memeluk sang ayah.
“Ini,” sang ayah memberikan bola. Bola kebanggaan bagi pria cilik.
“Makasih Daddy,” seru pria cilik sambil memeluk ayahnya sekali lagi.
“Yeah, aku akan menjaga bola ini baik-baik,” pria cilik berjanji sambil memegang erat bola itu dan menggandeng ayahnya.