Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Kamis, 08 Desember 2011

Ada Ayah


Suatu hari ayah mengajakku ke sebuah taman bunga yang indah. Banyak bunga warna-warni terhampar di sana. Merah, kuning, pink, ungu, putih, kuning, semua ada. Bentuknya unik-unik. Ada yang lonjong ada yang bulat, tangkainya ada yang panjang ada yang pendek. Semuanya menarik hatiku untuk menyentuhnya, memegangnya, serta mencium aroma dari masing-masing bunga.
Saat itu aku memakai jubah putih berlengan panjang dan bawahnya sampai menyentuh tanah panjangnya, dan polos pada semua sisi yang lain, tanpa gambar, putih bersih. Aku berputar-putar sambil merentangkan tangan diantara bunga-bunga yang sepertinya ikut menari bersamaku akibat buaian angin. Ke kanan dan ke kiri. Aku tersenyum dan sepertinya bunga-bunga itu juga tersenyum ke arah-ku.
Ayah hanya mengamati tingkah laku-ku saja dari bangku taman yang ber-cat putih juga. Ayah memakai terusan putih juga, dari atas ke bawah tak ada sambungannya, bersih sekali kelihatannya. Ayah mengangguk sesekali ketika kulambaikan tangan. Ayah tersenyum ketika aku menari-nari dan tertawa riang melihat bunga-bunga di taman itu.
Tiba-tiba, ayah berdiri dari bangku taman itu, lalu berjalan mendekat ke arahku. Aku pun menghentikan aktivitasku sejenak dan menunggu apa yang kira-kira akan ayah lakukan selanjutnya. Ayah mengulurkan tangannya minta disambut oleh tanganku, aku pun memberinya sesuai harapannya. Lalu kami bergandengan tangan, ke arah luar dari taman. Ayah terdiam saja tanpa sepatah kata-pun dari mulutnya. Aku mencoba berkata-kata, tapi tak ada sesuatu pun yang dapat kuucapkan dari bibirku. Jadi kami hanya berjalan dalam keheningan. Hening yang damai, hening yang membawa sukacita dan ketenangan.
Aku mencoba memandang wajah ayah untuk mencari tahu apa yang akan ayah lakukan selanjutnya. Tapi aku tak dapat melihat wajahnya, terlalu berkilau. Mungkin karena cahaya dari belakangnya sehingga aku tidak dapat melihat wajah ayah yang aku yakin tampan itu. Jadi, aku kembali berdiam diri saja sambil terus berjalan dan kini sudah meninggalkan taman.
Suasana sejuk tadi berganti dengan kehangatan yang kian lama kian menjadi panas. Aku memandang sekeliling dan seketika pemandangan berubah menjadi padang gurun yang gersang, kering, dan panas. Tak ada bunga-bunga tadi, yang ada hanya hamparan pasir berwarna coklat terang ditimpa cahaya matahari yang seolah tak pernah padam. Hembusan angin kering hanya membawa hawa panas yang kian membuat kerongkonganku serak karena kering. Sepi. Aku tak suka ini.
Ayah melepas gandengannya dan mulai berjalan di depanku. Aku bahkan belum sempat bertanya padanya, ada apa ini? Apa yang sedang terjadi? Dan mengapa ayah membawa aku ke tempat seperti ini? Aku tidak suka. Ayah tahu itu, ayah merasakan hal itu. Ia hanya menoleh dan mengisyaratkan padaku untuk berjalan mengikutinya. Aku memandangnya, lama. Lalu aku memutuskan untuk ikut berjalan mengikutinya, menyusuri setapak demi setapak langkah yang telah dibuat oleh ayah. Aku percaya pada ayah. Dia ayahku yang baik, dia ayahku, itu kenyataannya. Tak ada siapapun di padang gurun ini, hanya ada aku dan ayah. Walau aku takut, walau ada bahaya sekalipun, aku tahu dan yakin, ayah-lah yang akan menolongku.
Aku berjalan mengikutinya tanpa bicara. Beberapa kali kami harus melewati kumpulan kaktus, kadang kami harus berhenti sejenak untuk bermalam. Malam yang dingin. Hanya pasir yang menjadi alas tidur kami dan langit yang menjadi tenda-nya. Aku menggigil tiap malam dan kepanasan tiap siang. Ayah terus berjalan. Aku mulai bertanya, ke mana ayah akan membawa aku? Tapi aku tetap saja mengikutinya tanpa mengeluarkan kata-kata untuk bertanya padanya.
Suatu hari, kami bertemu dengan seekor singa gurun. Aku takut, aku ingin melawan, tapi bagaimana ini? Aku tak sekuat singa itu kurasa. Singa itu kelaparan. Aku tahu, singa itu menjadikan kami target santapannya. Tubuhnya sudah mengurus, kulitnya mengkerut menyembulkan tulang-tulangnya. Aku mencoba memandang sekeliling. Tak ada bantuan. Hanya aku. Singa itu berjalan mendekat ke arah-ku. Aku takut. Tongkatpun tak ada dalam genggamanku. Ingin aku berlari, tapi kakiku serasa membatu.
Singa itu berjalan perlahan tapi pasti. Kemudian tiba-tiba, hap! Dia meloncat hendak menerkam aku. Aku memejamkan mata dan pasrah. Aku menunggu tubuhku rebah dan menunggu  dan membayangkan kulitku robek lalu mengeluarkan darah. Tapi semua itu tidak terjadi. Ketika masih dengan takut-takut aku membuka mataku, singa itu sudah tergeletak tak bergerak. Aku memeriksanya dengan seksama yang ternyata singa itu sudah mati. Aku melihat ayah di sisi sebelah bangkai singa itu.
Seketika aku menangis. Aku lupa dengan siapa aku berjalan. Aku lupa aku tidak sendirian. Ada ayah di depanku. Dia yang memimpin perjalanan ini. Bukankah aku mengikuti setiap langkahnya? Yah, aku menyesali kebodohanku. Sejenak tadi aku sempat takut kalau-kalau aku mati. Sejenak tadi aku sempat berpikir bahwa hanya ada aku sendiri tanpa pertolongan siapapun. Tapi tidak! Ayah hadir saat di mana aku memerlukan pertolongan. Tepat sekali waktunya. Dialah satu-satunya penolongku.
Lalu ayah memandangku dan tersenyum seolah berarti, “Aku di sini, jangan takut. Aku-lah yang bertanggung jawab atas dirimu, menolongmu, melindungimu, dan menjagamu selalu. Percayalah padaku, aku akan selalu besertamu.”
Aku terhenyak dan menangis lebih kencang. Aku menyesal. Senyum ayah bukanlah mengartikan, “Kau sih tidak percaya kepadaku. Kau lupa kalau ada aku?”
Ayah tidak menyalahkan aku, ayah bahkan seolah tak ingat aku telah melakukan kesalahan. Padahal aku yakin, ayah pasti tahu kalau tadi sejenak aku melupakan dirinya. Tapi ayah tak membahasnya. Ayah berbalik dan berjalan kembali. Aku pun mengikuti langkahnya. Saat ini, hatiku lebih tenang, aku merasa aku aman, aku merasa aku berjalan di jalan yang tepat bersama dengan orang yang tepat juga. Lalu kami meneruskan perjalanan kami.