Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Senin, 13 Februari 2012

Janji 10 tahun


Kamu nakal yah.
Padahal kita sudah berpisah jarak yang jauh tapi kamu masih saja muncul.
Waktu aku naik busway di kota Jakarta kamu muncul di jendela yang transparan itu. Padahal kendaraan sedang melaju dengan cukup kencang melalui fly over yang tinggi tapi kamu ada di sana.
Lalu aku turun dan menyebrang jalan. Lagi-lagi kamu ada, kali ini di mobil-mobil yang sedang menunggu aku menyebrang jalan. Ah, kau ini. mengganggu konsentrasiku. Kau tahu kan itu bahaya?!
Lalu ketika aku membeli karcis kereta dan menunggu di peron, kamu datang menghampiri bersama hembusan angin kering. Panas! Kau ingat betul, kau ciptakan suasana sebagaimana kita dulu. Kau benar-benar jahat! Mengapa kau begitu membuat aku membangun kembali masa lalu kita? Padahal kau sendiri sering berkata, “Sudah selesai.” Tapi tak juga kau lepaskan aku.
Aku sudah mencoba menghubungimu beberapa kali tapi kau menolak. Kau diam seolah kau tak ada di seberang sana. Aku mencoba diam, kali ini kau yang menyapa. Aku benar-benar tak mengerti maksudmu.
Kau buat aku penasaran lalu kau tinggal aku untuk membuat aku mencari dan tak mendapatkan. Kau kejam! Aku sudah bilang aku suka padamu. Kau diam lagi. Ah kau ini. Kau cuma anggap aku temanmu. Sepertinya aku berharap terlalu banyak yah. Sudahlah, kan aku sudah bilang akhiri saja tapi kau tak rela juga.
“Maumu apa?” kutanya kau tapi kau diam. Lalu aku pergi, kau menahan lenganku. Aku menoleh lalu kau menghilang seperti asap. Kau ini apa sebetulnya?
Peron kosong dan sepi ini saksi bisu diantara kita betapa aku merindukanmu. Lagi-lagi jarak, lagi-lagi diam. Kau duduk saja diujung bangku. Kau tak menyapaku, kau juga tidak menoleh. Aku di sini sayang, menolehlah. Rasanya aku berharap tanpa lelah. Rasanya aku akan segera mengakhirinya di sini saja.
Kau bilang, “Jangan pergi!”
Hanya itu saja kata-katamu tapi tak ada usahamu mencegah langkah kakiku. Pintu kereta tertutup kembali membawa aku ke tujuannya. Kau tak melambai. Kau ini benar-benar tak berperasaan! Selama ini kita apa? Kau menatap melalui kaca di depan mata-mu itu. Kau kira enak didiamkan seperti itu?!
Aku menelan ludah kembali. Sepertinya kelelahan ini akan segera berakhir ketika aku menginjakkan kaki di stasiun, dua atau tiga stasiun lagi lalu aku sampai.
Kau masih terduduk di kursi yang sama. Sepuluh tahun yang lalu. Menatap ke pintu persis ketika aku masuk ke dalamnya. Kali ini disebelahmu ada seorang anak laki-laki. Kuakui dia mirip denganmu. Apa? Dia memang anakmu. Ah, yah. Kita benar-benar berakhir yah?
Kau menggeleng, tidak katamu. Kita masih bisa bersama, janjimu. Tapi apa yang kulihat? Di sana ada anak yang bukan dari rahimku dan aku harus membesarkannya? Kau tega! Kau mau menyiksaku? Kau pikir aku pekerja sosial?
Kau memohon, kau bilang dia anak piatu, kau butuh istri dan anakmu butuh ibu. Aku bertahan. Aku bingung. Sebenarnya apa yang sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu?
Benar kan?! Kita sudah berakhir dan kau menikahi gadis impianmu itu? Jadi selama ini kita apa?
Kau jelaskan kau suka padaku juga. Terlambat! Mengapa tak sepuluh tahun yang lalu? Yang kau mau sekarang aku merawat anakmu itu karena kau begitu mencintai ibunya. Kau benar-benar keterlaluan! Aku tak mau. Aku sekarang akan meninggalkanmu lagi seperti sepuluh tahun yang lalu.
Yah benar, aku yang meninggalkanmu saat itu. Kau hanya bilang jangan pergi tapi tak mencegahku. Mana bisa itu membuktikan kau tertarik padaku. Aku mau lebih, aku menuntut lebih. Kau ini, tak pernah mengerti diriku, tak mengerti maksudku.
Aku egois? Yah, yah, kau yang mengatakannya karena aku tak bisa memenuhi keinginanmu juga kan? Aku tak mau merawat anakmu, dia bukan anakku! Seenaknya saja kau mengklaim kalau dia bakal jadi anakku kalau kita menikah. Tak bisa begitu. Aku menolak.
Sudahlah, ngomong denganmu tak akan usai. Paling kau yang mengakhiri dengan diam. Lihat kau terdiam sekarang. Sepertinya kereta-ku akan segera datang menjemput kembali.
Sudah yah, aku sudah memenuhi janji kan? Bertemu denganmu sepuluh tahun lagi di tempat yang sama, aku penuhi sekarang. Melepas rindu sekejab. Tak masalah masa lalu itu, tak perlu dikorek kembali.
Aku sudah membangun hidupku yang baru. Nah, keretanya datang. Kau tak mau mencegahku kali ini? Bukankah kau membutuhkanku? Kau diam lagi, artinya tidak. Kali ini aku tak menunggu lagi yah. Aku berangkat dulu. Mungkin tak kembali lagi. Suamiku menungguku.