Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Rabu, 28 September 2011

Di mana Mike?


Seorang laki-laki kecil bernama Mike tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran suatu kota. Suasananya tenang dan damai. Tiap pagi kesejukan dari tetesan-tetesan embun membuat daun-daun lebih berseri-seri. Danau kecil di belakang rumah Mike tampak seperti cermin raksasa bila terpantul sinar sang surya yang merajai pagi. Tiap pagi, Mike selalu bangun lebih awal. Suatu hari ibunya  bertanya, “Kenapa kamu bangun pagi-pagi, Mike?”
“Aku mau berlomba dengan matahari, Bu dan aku menang!” serunya semangat.
Tiap pagi, ayahnya selalu pulang dari menjala ikan. Mike selalu menyambut ayahnya dengan sebuah senyum.
“Hai, ayah. Mari kubantu,” katanya sambil tersenyum, kedua tangannya yang mungil menjulurkan siap memberi bantuan. Sang ayah selalu tersenyum lalu mengelus rambut anak semata wayangnya yang sangat disayanginya itu. Segala rasa lelah di badannya akibat terpaan angin malan tak terasa lagi.
“Mari pulang,” ajak ayahnya menggandeng jemari anaknya yang mungil, tak peduli lagi betapa sedikitnya hasil tangkapannya hari itu atau di hari lain betapa tak ada hasilnya usaha yang dilakukan sang ayah, ayah tetap berjalan riang ke rumah kecil mereka.
Ibu selalu menanti di rumah untuk menyambut ayah, bahan apa yang ayah bawa untuk mempersiapkan makan nanti malam. Tapi, ibu harus menerima bahwa ayah pulang dengan tangan hampa kali ini.
“Yah?” tanya ibu dengan wajah bingung sambil memberi isyarat apakah ada yang ayah bawa.
Ayah menggeleng lesu, namun dipaksanya seulas senyum mampir dibibirnya.
“Tidak apa Bu. Ibu dan ayah jangan sedih. Kami akan ke hutan untuk memburu seekor kelinci hutan. Nanti siang kami sudah pulang dan ibu bisa mulai memasak,” hibur Mike mengelus punggung tangan ibunya.
“Yah,” kata ibu sambil tersenyum, mengelus rambut-rambut lurus Mike.
Mike dan ayah kini sudah berada di hutan. Mereka berusaha memburu sesuatu untuk dimakan. Sementara sang ayah memasang jebakan untuk kelinci hutan, Mike berjalan-jalan di sekeliling daerah hutan itu.
“Mike, jangan jauh-jauh!” teriak sang ayah dari jarak sepuluh meter, tangannya masih sibuk memilih rotan yang akan dianyam menjadi jebakan. Ini santapan malam mereka, ia tak mau mengecewakan istrinya dua kali.
“Baik ayah,” jawab Mike patuh. Mike mulai memetiki jamur-jamur liar yang biasa dibeli ibunya di pasar bila musim kemarau tiba.
“Aneh, jamur ini hanya tumbuh pada musim kemarau saja,” gumam Mike. Namun, tangannya masih memetiki jamur-jamur itu dan langkah kakinya semakin membawanya jauh dari ayahnya. Suara siul ayahnya yang menjadi tanda keberadaan sang ayah sudah tidak terdengar lagi.
“Mike!” panggil ayahnya begitu menyadarinya suasana begitu hening dan dia sudah seorang diri di hutan itu.
Tak ada jawaban. Ayah berusaha sekali lagi.
“Mike!” kali ini suaranya lebih kencang. Lagi-lagi suasana hening.
“Mike!” ayah mulai beranjak dari tempat duduknya dan mulai berjalan cepat ke arah terakhir ia melihat Mike. Langkahnya makin dipercepat, suara semak-semak beradu dengan kain membuat gemerisik semakin kencang.
Sunyi, sepi. Suara degup jantung ayah dapat didengarnya sendiri.
“MIKE!” teriak sang ayah histeris. Anaknya semata wayang, sulitkah untuk menjaganya?
Hari makin malam, cahaya makin meredup. Sudah sore menjelang malam dan sang mentari tampak masuk kembali ke peraduannya. Ayah pulang dengan langkah gontai. Sementara, ibu sudah menunggu dengan cemas di depan pintu.
“Mengapa sore sekali Yah? Bukankah janji kalian siang hari?” tanya ibu. Ayah hanya menggeleng lesu.
“Loh, mana Mike?” ibu mencoba melongokan lehernya panjang-panjang untuk melihat batang hidung anak laki-lakinya itu.
“Maaf Bu, aku tak membawa pulang apa-apa,” sesal sang ayah.
“Tak apa Yah, kita masih bisa makan nasi goreng, walau tanpa lauk tambahan,” ujar ibu.
“Bukan itu Bu...”
“Lalu mana Mike?” tanya sang ibu, ia mulai gugup.
Ayah hanya menunduk sambil menggeleng-geleng.
“Dia hilang Bu, di hutan...”
“Apa?!” ibu mulai pucat, dirasakan sekujur tubuhnya lemas.
“Bagaimana ini bisa terjadi?” ibu mulai panik.
“Maaf Bu, aku tak bisa menjaganya dengan baik. Sekarang dia pasti sendirian di hutan sana. Ayah macam apa aku ini?” ayah makin menyalahkan dirinya sendiri. Ibu hanya menangis meratapi Mike yang sekarang entah di mana. Dalam pikirannya, Mike mungkin saja jatuh ke lubang, mungkin saja dia sedang bersembunyi di goa, atau yang paling mengerikan adalah Mike dimakan binatang buas.
“TIDAK!!!” ibu berteriak sambil menangis, menelungkupkan wajahnya ke ubin dalam-dalam.
Lalu, di manakah Mike sebenarnya?