Aku memandangmu lewat kaca jendela yang
menjadi batas yang memisahkan kita. Deru nafasmu tak bisa kudengar, seperti
biasa ketika kau membisikkan kata-kata rayuan di telingaku. Tanganmu tergeletak
lemas di sisi ranjang berseprai putih, tangan yang selalu merangkulku untuk menjagaku,
melindungiku. Kaki itu, seharusnya kaki itu kini berada di sebelah kakiku,
berdiri bersama denganku yang tak letih untuk menemaniku berjalan keliling
kota, sekarang hanya terbujur lurus tanpa gerakan. Dan tubuh itu, tubuh yang
selalu memberi kehangatan ketika kau memelukku dengan lembut.
Tiga jam yang lalu aku masih melihatmu
melambaikan tangan padaku di seberang jalan itu. Kau melempar senyum manismu padaku, selalu menunjukkan wajah berseri kala kita bertemu. Tak sedikitpun kau
pernah mengeluh ditelingaku. Malahan aku yang selalu mengeluhkan ini dan itu,
menceritakan kisah ini dan itu, tanpa pernah sekalipun kau bosan mendengarnya.
Kau tetap duduk di sampingku, mendengarkanku dengan sabar, kadang memberi nasihat
juga. Aku malah terheran-heran, ketika aku mendecak kesal, menaruh kedua
tanganku di pinggang, kau malah memandangku, lagi-lagi tersenyum. Aku penasaran
apa yang kau pikirkan saat itu?
Aku ingat tiga jam lalu ketika hujan
turun dengan derasnya, kau membawa payung, melangkah tanpa ragu untuk menjemputku
di halte. Aku hampir saja marah andai saja lima menit lagi kau masih membuatku
menunggu. Ah yah, aku ingat bagaimana ketika aku marah karena kau buatku menunggu, dengan berbagai caramu yang unik membuat aku tersenyum lagi. Entah
itu semangkuk sereal kesukaanku di kamar pada pagi hari, layang-layang warna-warni
di siang hari, dan lampion terbang di malam hari. Ketika aku hanya diam dan
melakukan aksi protes tanpa bicara, entah mengapa kau selalu berhasil membuatku
mengeluarkan kata-kata kembali dari mulutku. Mungkin aku terlalu lemah di
hadapanmu, atau mungkin kau yang terlalu menguasai diriku sehingga aku seperti
terhipnotis atas semua tindakanmu.
Tiga jam yang lalu ketika aku merajuk di
telepon genggamku, memohon kau untuk menjemputku di sini. Ketika kau bilang
sibuk dengan pekerjaan yang harus kau selesaikan saat itu, tetap saja kau
datang kemari, dengan sebuah payung dan berharap aku di sisimu, kan? Aku juga
ingat bagaimana kau gelisah ketika teleponmu tidak kujawab, ketika kau begitu
panik mencariku, padahal aku tepat di belakangmu, mengikuti, melihat responmu.
Ketika aku kau temukan, kau tidak memarahiku, kau menghampirku, memelukku, dan
mengatakan rasa bersalah karena tidak bisa menjagaku. Padahal, akulah yang
nakal, akulah yang mengujimu, akulah yang telah membuatmu panik, tapi kau terus
memegang tanganku seperti tidak mau melepaskannya agar aku tidak hilang lagi.
Aku saat ini di sebelahmu, bisakah kau
merasakannya? Bisakah kau ikut menyaksikan setiap putaran memori di kepalaku
saat ini? Bisakah aku kembali memegang tanganmu, berjalan bersamamu, memelukmu,
menyentuhmu? Bisakah kau ikut tersenyum bersamaku saat ini? Bisakah aku
mengulang waktu kembali ke tiga jam yang lalu? Tuhan, bisakah? Aku mohon, hanya
tiga jam yang lalu. Aku berjanji tidak akan menjadi anak yang manja, tidak akan
terlalu egois, tidak akan mudah ngambek, tidak akan menyusahkan dia lagi,
Tuhan, bisakah? Bisakah toleransi kehidupan yang KAU berikan kepada manusia
diperpanjang? Sedikit saja, sedikit saja Tuhan, agar aku bisa menyampaikan pesan
yang selama ini belum kuucapkan bahwa dari lubuk hatiku yang terdalam, aku
mencintainya, mencintai pria yang saat ini hanya terbujur kaku ketika
grafik-grafik di monitor berbentuk garis lurus.