Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Rabu, 12 Desember 2012

Ayah Patricia

Aku pernah mengenal seseorang, samar-samar dalam ingatanku. Kalau tidak salah saat aku masih duduk di bangku SD. Aku mengenalnya di tempat kursus bahasa Inggris. Dulu, masalah kasus korupsi tidak se-Booming seperti saat ini, belum mendapat tempat menjadi lahapan media massa yang haus akan berita dan berusaha mencari sensasi belaka.
Anak itu berjenis kelamin perempuan, periang dan rajin. Cekatan, cantik, dan tidak sombong. Aku tahu dia anak seorang yang cukup berada dan berkaitan dengan kenegaraan, yang saat ini aku tahu mungkin ayahnya adalah salah satu anggota pejabat kelas menengah.
Dulu, belum ada kasus seperti Bank Century atau Hambalang di mana para pelakunya dengan bangga memamerkan gigi-geligi mereka yang menggelikan itu di depan layar kaca. Bahkan mungkin wajah ayah perempuan itu tak terpampang di halaman utama koran. Aku tak tahu, aku tak kenal dan sampai saat ini belum pernah melihat wajah ayahnya. Bahkan wajah temanku itu saja aku sudah lupa.
Jadi, ketika itu, kelas belum mulai. Karena aku diantar jemput oleh layanan jasa seperti itu, aku datang lebih awal dari teman-temanku yang naik kendaraan pribadi. Karena kelasnya masih terisi murid-murid lain yang memakai kelas yang sama, aku menunggu sambil duduk di sofa yang empuk di ruang tunggu. Ada dia, ya ampun, bahkan namanya aku lupa, mungkin Patricia, atau Ellise, atau Alice, aku lupa.
Dia duduk sendiri dan wajahnya murung saat itu. Jadi aku menghampirinya dan berusaha mengajak mengobrol.
“Halo Pat,” akhirnya kita sebut saja namanya Patricia, aku benar-benar lupa.
“Hai,” jawabnya singkat tanpa memandang wajahku. Kakinya digores-goresnya ke lantai yang tampak mengkilap karena dibersihkan dengan telaten oleh petugas kebersihan yang ramah, aku sering menyapanya.
“Kenapa murung?”
Patricia menggeleng. “Papa mau ditangkap polisi.”
“Kenapa?” aku merasa sangat polos sebagai anak SD. Yang aku tahu, ditangkap polisi itu berarti karena kita sudah berbuat nakal, itu yang mama bilang kalau aku berbuat nakal, nanti ditangkap polisi. “Papa Patricia nakal yah?”
“Bukan. Katanya, papa sudah korupsi.”
“Korupsi itu apa?” aku benar-benar anak kecil yang polos.
“Korupsi itu ambil uang milik orang lain, kaya mencuri gitu,” jelasnya mulai mengangkat wajahnya.
“Jadi papa Patricia mencuri?”
“Bukan mencuri, tapi korupsi,” sanggahnya agak kesal.
“Oh, bukan mencuri, tapi korupsi.” Aku mengangguk tanda mengerti walau sebenarnya aku masih bingung.
Saat pelajaran hari itu, Patricia tampak diam, tidak seperti biasanya. Miss yang mengajar kami juga sampai heran. Tapi hari itu berlalu begitu saja.
Pertemuan berikutnya saat dua hari kemudian, Patricia tidak datang. Begitu juga minggu-minggu berikutnya. Patricia tidak pernah hadir lagi.
Saat membayar uang les di kantor administrasi (anak-anak les membayar uang les mereka sendiri dengan bahasa inggris, ini tempat kursus resmi) aku sekaligus bertanya pada petugasnya, tentu saja dengan bahasa inggris yang tidak lancar. “Miss, Patricia doesn’t come again, why?”
Petugas itu menatapku lalu tersenyum, “She is not here again because she stop studying English in here.”
Aku menangkap maksudnya bahwa Patricia berhenti les. Saat itu aku menganggapnya biasa. Aku baru mengerti saat aku duduk di bangku SMA. Ada nama yang pernah aku dengar, kali ini kasus yang serupa yang Patricia pernah ceritakan padaku, kasus korupsi. Mungkinkah itu adalah ayah Patricia?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar