Aku
pernah mengenal seseorang, samar-samar dalam ingatanku. Kalau tidak salah saat
aku masih duduk di bangku SD. Aku mengenalnya di tempat kursus bahasa Inggris. Dulu,
masalah kasus korupsi tidak se-Booming
seperti saat ini, belum mendapat tempat menjadi lahapan media massa yang haus
akan berita dan berusaha mencari sensasi belaka.
Anak itu
berjenis kelamin perempuan, periang dan rajin. Cekatan, cantik, dan tidak
sombong. Aku tahu dia anak seorang yang cukup berada dan berkaitan dengan
kenegaraan, yang saat ini aku tahu mungkin ayahnya adalah salah satu anggota
pejabat kelas menengah.
Dulu,
belum ada kasus seperti Bank Century atau Hambalang di mana para pelakunya
dengan bangga memamerkan gigi-geligi mereka yang menggelikan itu di depan layar
kaca. Bahkan mungkin wajah ayah perempuan itu tak terpampang di halaman utama
koran. Aku tak tahu, aku tak kenal dan sampai saat ini belum pernah melihat
wajah ayahnya. Bahkan wajah temanku itu saja aku sudah lupa.
Jadi,
ketika itu, kelas belum mulai. Karena aku diantar jemput oleh layanan jasa
seperti itu, aku datang lebih awal dari teman-temanku yang naik kendaraan
pribadi. Karena kelasnya masih terisi murid-murid lain yang memakai kelas yang
sama, aku menunggu sambil duduk di sofa yang empuk di ruang tunggu. Ada dia, ya
ampun, bahkan namanya aku lupa, mungkin Patricia, atau Ellise, atau Alice, aku
lupa.
Dia duduk
sendiri dan wajahnya murung saat itu. Jadi aku menghampirinya dan berusaha
mengajak mengobrol.
“Halo
Pat,” akhirnya kita sebut saja namanya Patricia, aku benar-benar lupa.
“Hai,”
jawabnya singkat tanpa memandang wajahku. Kakinya digores-goresnya ke lantai
yang tampak mengkilap karena dibersihkan dengan telaten oleh petugas kebersihan
yang ramah, aku sering menyapanya.
“Kenapa
murung?”
Patricia
menggeleng. “Papa mau ditangkap polisi.”
“Kenapa?”
aku merasa sangat polos sebagai anak SD. Yang aku tahu, ditangkap polisi itu
berarti karena kita sudah berbuat nakal, itu yang mama bilang kalau aku berbuat
nakal, nanti ditangkap polisi. “Papa Patricia nakal yah?”
“Bukan.
Katanya, papa sudah korupsi.”
“Korupsi
itu apa?” aku benar-benar anak kecil yang polos.
“Korupsi
itu ambil uang milik orang lain, kaya mencuri gitu,” jelasnya mulai mengangkat
wajahnya.
“Jadi
papa Patricia mencuri?”
“Bukan
mencuri, tapi korupsi,” sanggahnya agak kesal.
“Oh,
bukan mencuri, tapi korupsi.” Aku mengangguk tanda mengerti walau sebenarnya
aku masih bingung.
Saat pelajaran
hari itu, Patricia tampak diam, tidak seperti biasanya. Miss yang mengajar kami
juga sampai heran. Tapi hari itu berlalu begitu saja.
Pertemuan
berikutnya saat dua hari kemudian, Patricia tidak datang. Begitu juga
minggu-minggu berikutnya. Patricia tidak pernah hadir lagi.
Saat membayar
uang les di kantor administrasi (anak-anak les membayar uang les mereka sendiri
dengan bahasa inggris, ini tempat kursus resmi) aku sekaligus bertanya pada
petugasnya, tentu saja dengan bahasa inggris yang tidak lancar. “Miss, Patricia
doesn’t come again, why?”
Petugas
itu menatapku lalu tersenyum, “She is not here again because she stop studying
English in here.”
Aku menangkap
maksudnya bahwa Patricia berhenti les. Saat itu aku menganggapnya biasa. Aku baru
mengerti saat aku duduk di bangku SMA. Ada nama yang pernah aku dengar, kali
ini kasus yang serupa yang Patricia pernah ceritakan padaku, kasus korupsi. Mungkinkah
itu adalah ayah Patricia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar