Ini baru pertama kalinya aku berada di pesta ini
setelah tahun-tahun sebelumnya selalu kutolak. Harus aku akui, memang alasannya
karena pesta ini adalah pesta natal. Aku tak suka natal. Pesta ini hanyalah
ajang untuk saling pamer dalam segala kemewahan yang ada. Seolah setiap orang
berlomba membeli barang-barang bagus dan mahal dan mendorong orang-orang
semacam ini menjadi konsumen yang akut.
Natal itu...ah, ketika lonceng-lonceng gereja
berbunyi menandakan malam natal dan setiap orang pergi ke gereja untuk
merayakannya sambil menyanyikan lagu ‘Malam Kudus’ itu, aku hanya sedikit
berpikir dalam otakku. Benarkah malam itu malam yang kudus? Ketika di lorong
jalan yang sempit dan gelap seorang perempuan diperkosa oleh tiga pria tak
dikenal kemudian merampas uangnya, ketika beratus-ratus penderita busung lapar
tetap kelaparan di Afrika sana, atau ketika para tunasusila tetap gencar
melakukan aksinya, ketika tempat perjudian tetap digelar, pesta seks dan
narkoba diadakan, masih bisakah malam itu disebut malam yang kudus? Sunyi senyapkah
ketika setiap hati berteriak dan setiap mulut mengaduh sakit?
Dan disinilah aku bersama perempuan itu. Karena perempuan
itulah aku hadir di sini. Ah...aku rasa ini keputusan yang salah. Jadi aku
mengambil tempat duduk di salah satu pojok ruangan yang jauh dari pengeras
suara yang berdentum memekakkan telinga. Aku melihat perempuan itu dengan
setelah dress selututnya berwarna
hijau tua dari beludru. Sederhana, dengan model yang tidak terlalu terbuka. Sepasang
sarung tangan hitam dari beludru menutupi kedua telapak tangannya itu, clutch kecil berwarna hijau tua senada
dengan bajunya dan sepasang pantofel hitam mengkilap di kakinya. Selebihnya,
hanya sepasang anting yang telah dipakainya bertahun-tahun dan sebuah cincin
emas melingkar di jari manisnya tanda kesetiaannya terhadap pernikahannya.
Sekelompok perempuan lain menghampirinya lalu
terjadilah obrolan yang sempat kudengar itu.
“Halo Anne, jadi ke mana liburan kali ini?” tanya
sesosok perempuan yang aku tahu namanya adalah Elly yang mengenakan gaun
berkerah berwarna merah menyolok yang persis sama seperti Jessica Avantie,
model yang sekarang memiliki honor tertinggi.
“Hanya mengikuti sebuah tour ke Perancis lalu
berkeliling Itali,” sahutnya bangga, jelas sekali dari nada bicaranya. Anne memakai
gaun malam yang bagus berwarna hitam legam dengan tali spageti anggun yang
melingkar manis di pundaknya. Tak usah kau sebutkan pun aku tahu itu karya Johansen
Jonas, perancang TOP di Milan itu.
“Wah, apa kau bisa bahasa Perancis atau Itali?”
tanya Mischa, perempuan lainnya yang memegang sampagne di tangannya. Dia ini yang paling menyolok diantara ketiga
perempuan yang lain. Seuntai kalung mutiara melingkar di leher jenjangnya,
sebuah gelang emas murni bertengger mewah di pergelangan tangan kirinya dengan
ukiran seniman ternama, dan sebuah cincin berlian berkarat tinggi tersemat
manis di jarinya, tak lupa sejuntai anting dari batu safir merah yang sangat
mahal itu, ikut menghias telinganya. Tampaknya ia sedang memamerkan seluruh
kekayaannya. Tapi menurut pandanganku seolah dirinya ingin berkata, “Ayo
perampok, rampok aku!” lalu aku tertawa kecil dengan imajinasiku itu.
“Tenang, tour ini akan siap membantu sehingga kami
tidak akan mengalami kesulitan apa-apa.”
“Berapa harganya?” tanya perempuan dress hijau tua itu, Margaret.
“Dua ribu dolar untuk anak dibawah 17 tahun dan tiga
ribu dolar untuk orang dewasa. Tujuh hari perjalanan untuk harga yang demikian
murahnya,” lalu Anne tertawa kecil menunjukkan diri bahwa uang sejumlah
demikian terlalu sedikit untuk dirinya.
“Oh yah Meg, ini ada oleh-oleh buatmu.” Mischa
mengeluarkan sebuah gantungan perak dari dalam tas tangannya yang berwarna
emas, senada dengan gaun coklat mudanya itu.
Lambang bendera USA menghiasi bagian depannya. “Wah,
kau dari Amerika?” tanya Elly antusias. Mischa hanya mengangguk. Kedua perempuan
yang lain tidak mendapatkan oleh-oleh dari Amerika itu. Aku tahu apa maksudnya,
mereka menganggap hadiah yang diberikan itu tak seberapa dan cukuplah untuk
ukuran Meg, panggilan untuk Margaret.
“Terimakasih Mis,” jawab Meg cukup sopan sambil
memasukkannya ke dalam clutch nya
itu.
“Kau ke mana Elly? Aku belum mendengar ceritamu,”
seru Anne tak sabaran.
“Well,
maaf sebelumnya karena tak bawa oleh-oleh untuk kalian. Aku terlalu sibuk
mencari sunblock karena kehabisan
persediaan. Ternyata liburan ke Hawaii-ku diperpanjang diam-diam oleh suamiku
sebagai kejutan. Betapa senangnya aku, meski itu tadi, aku jadi harus membeli
beberapa botol sunblock lagi. Berjemur
di Hawaii tentu mengasyikkan!” Tidak
penting! Celutukku dalam hati.
“Dan kau Meg, ke mana kau akan berlibur?” Anne
kemudian beralih pada Meg.
Meg berdehem sekali untuk membersihkan
tenggorokannya. “Aku sepertinya akan tetap di sini bersama keluargaku.”
“Dan mengurus pantimu itu?” sahut Mischa lalu
diiringi tawa dari dua temannya. Meg hanya tersenyum. Sudah kuingatkan padamu
Meg, kau tak juga mau mendengarkan. Pesta ini tak perlu didatangi, lakukan saja
seperti tahun-tahun sebelumnya, menolak. Hanya embel-embel ‘natal’ saja yang
menjadikannya terlihat tampak sederhana, namun ini hanyalah ajang pamer
kekayaan yang tak perlu itu.
“Aku akan ke sana dulu untuk mengambil air.” Meg
berlalu menuju meja gelas-gelas cantik tertata untuk mengambil segelas air dan
meneguknya perlahan. Aku hanya duduk di sini dan memperhatikan saja. Aku malas
berbaur. Biar saja orang-orang itu lewat, menatap ke arahku, saling melempar
senyum sopan lalu segera berlalu. Begitu lebih baik.
Meg dan aku diundang ke sini karena kami dikenal
dari panti asuhan yang kami kelola. Sebenarnya, tidak layak menyebutnya panti,
aku lebih suka mengatakan ‘Rumah Kebersamaan”. Anak-anak itu perlu kasih
sayang. Membagikan sedikit hal yang dinamakan kasih, yah memang baru sedikit
dari berjuta-juta hal besar lainnya yang mereka butuhkan. Tapi kasih itu
mendasarkan semuanya.
Dan kumpulan ini sebenarnya adalah komunitas
gereja di kota ini, ketua majelis yang menjadi tuan rumah inilah yang
mengundang kami. Aku rasa Meg sudah menyadari bahwa keputusannya menghadiri
acara ini adalah salah.
Ketika acara sudah usai dengan terasa sangat
sia-sia bagiku, akhirnya tibalah giliran pulang. Satu persatu mobil yang
tadinya diparkir rapi di halaman rumah yang lapang ini menjemput di depan ball dan satu persatu menunggu
gilirannya. Kami mendapat giliran hampir akhir. Hanya tersisa beberapa saja. Tentu
saja, Anne, Mischa, dan Elly menunggu Meg pulang dulu. Rupanya mereka belum
puas untuk mencibir kembali mengenai kesederhanaan Meg itu.
Sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat dihadapan
kami. Betapa pemandangan di depan mereka membuat Anne, Mischa, dan Elly serta
beberapa orang yang masih tersisa di sana tercengang. Obrolan mereka seketika
berhenti melihat mobil sedan itu.
Meg telah menuju pintu di ujung sebelah sana dan
masuk setelah dibukakan pintu oleh supir kami, Pedro.
“Ada apa?” tanyaku sebelum Pedro membukakan pintu
untukku.
“Mobil kalian ini kan bahkan belum dipakai oleh
siapapun di dunia ini. Bukankah baru akan rilis beberapa bulan lagi?!” seru
Anne, agak berlebihan bagiku.
Aku menyadari, mobil sedan hitam ini telah
diiklankan dengan sangat bombastis sebelum diluncurkan dipasaran. Semuanya yang
melihat iklan ini tahu bahwa mobil ini baru akan ada beberapa bulan kemudian. Semuanya
aku yakin, ingin berlomba memilikinya. Hanya akan ada sepuluh mobil seperti ini
di seluruh dunia. Siapa yang memilikinya pastilah akan menambah gengsi mereka
karena harganya yang fantastis itu akan menjadikan diri mereka berlabel ‘Orang
yang sangat kaya’.
Aku tersenyum kecil. “Ini pemberian.”
“Sudah kuduga,” celutuk Mischa cepat. Terlalu cepat
hingga membuat aku sedikit kesal. Rasanya tanganku gatal ingin mendaratkannya
ke pipi mulusnya sekali saja, agar bibirnya terkunci rapat.
“Dari siapa?” tanya Elly penasaran. Beberapa pasang
mata memperhatikan dengan antusias. Pedro telah membukakan pintunya bagiku.
“Dari pemiliknya perusahaan langsung,” jawabku
sambil masuk ke dalam mobil dan duduk di dalamnya.
“Bagaimana kau bisa kenal dengannya?” Mischa
bertanya lagi.
Sebelum pintu ditutup oleh Pedro aku sempat
menyahut, “Tentu aku kenal. Dia ayahku.” Pintu tertutup dan mobil itu berjalan
mulus, semulus aku berhasil mengunci rapat bibir Mischa yang menyebalkan itu.
Aku masih bisa melihat raut wajah antara takjub
dan tidak percaya, antara kesal dan malu atas sikap mereka tadi. Hah! Natal,
natal. Pembodohan besar bagi orang-orang naif seperti mereka yang mengukur
segalanya dari materi yang dimiliki.
Setidaknya Meg benar, kita akan tetap di sini. Ayah
akan pulang besok setelah negosiasi terakhirnya hari ini. Mobil kesembilan yang
dijualnya. Dan kami, kami bahkan sudah duduk manis dan menikmati keliling kota
dengan mobil idaman orang-orang di luar sana yang baru akan mendapatkannya
beberapa bulan kemudian setelah kami puas menikmati kemewahan mobil ini ketika
sembilan mobil lainnya baru diluncurkan dan kemudian kami akan mendesain yang
baru untuk dijual kembali.
malam mba... ini aku yang jasa plating , bisa menghubungi silahkan telepon 081399167240 bbm 2bc17211 , http://jasa-plating.blogspot.com/
BalasHapus