Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Senin, 23 Mei 2011

She's Gone


Kau datang kau pergi, kau datang lalu pergi kembali.
Mungkinkah kau sebuah sabun dalam genggamanku? Begitu licin, mudah terlepas.
Kau beri aku kesempatan memegangmu. Aku tak mampu memilikimu. Bila genggamanku terlalu kuat, aku meremukkanmu, bila genggamanku terlalu kendor, kau lepas dari genggamanku.
Ataukah kau sebuah gelembung? Membiaskan warna putih lampu menjadi tujuh warna pelangi. Setiap aku melihatmu aku tersenyum. Namun, aku tak dapat menyentuhmu. Kau begitu rapuh. Kau hilang lenyap begitu sampai di kulitku. Lalu aku kembali bersedih hati.
Atau kau segumpal busa? Buih yang bagian dari koloid? Kau kah itu? Yang dapat kusentuh, dapat kepegang, namun tak lama untuk kumiliki. Kau begitu ringan, terbang melayang begitu tertiup.
Oh, bayang-bayang, kuingin kau menjadi nyata? Akankah kau kembali pulang? Berjanji untuk tak pergi lagi?



Aku melihatmu datang, dengan sebuah senyuman. Malu-malu untuk menyapa. Kupegang dadaku, terasa berdebar keras. Aku harap kau tak merasakan getarannya. Kuharap kau tak tahu isi hatiku saat ini. Begitu kacau. Kehadiranmu membuat hidupku kembali berada di atas mesin cassino yang sedang berputar. Terasa berjudi dan aku tak senang untuk kalah, aku tak mau mengalah.
Kutatap wajahmu. Kau tak berubah. Berdiri mematung sesaat di depan pintu.
“Silahkan duduk,” kataku akhirnya. Suaraku terasa tersekat di ujung tenggorokanku. Kutelan ludah sekali untuk melicinkannya.
Aku menatap matamu. Mata yang sama dengan yang dulu, namun di mana sinarmu?
“Halo,” sapaku, “Apa kabar?” mu? Bagaimana keadaan jiwamu? Sambungku dalam hati. Aku begitu ingin memelukmu mengatakan kau akan baik-baik saja. Tapi aku tetap diam di sini, dihadapannya, hanya duduk diam bersila, diatas sebuah alas tikar.
Rumah tempat kami bertemu sepi, kami hanya bertiga, aku, dia dan empunya rumah. Di dalam kamar yang kedap ada temannya, istri empunya rumah dan anak empunya rumah.
 “Baik,” jawabnya. Suaranya masih sama, namun kecanggungan yang kudengar.
Aku ingin sekali melepas rindu dengannya, ingin bercengkrama dengan bebas. Tapi bukan itu tujuanku bertemu dengannya saat ini. Bukan menuruti keinginan dagingku, namun mengerjakan perkerjaan yang ditugaskan untukku.
Aku memulai tugasku...

Satu minggu berlalu, namun kini semua itu hanya tinggal kenangan.
Ugh, kau...
Mengapa kau harus datang, membuka luka lama dan menorehkan luka baru disaat yang bersamaan?
Luka lama itu belum kering, belum sembuh benar. Kau datang dan pergi semaumu. Akankah kepergianmu kedua kalinya untuk selamanya?
Kuyakini kau pergi untuk kembali, kembali untuk selamanya. Kuharap, ada kesempatan bagi jiwamu untuk diselamatkan. Kuharap, kau mengerti tentang apa yang kujelaskan. Kuharapkan kepadamu harapan terbaik dalam hidupmu.

Aku mengendarai motorku untuk menjemputnya, aku tahu dia pasti senang, kutahu dia menanti. Ah, kulakukan ini untuk dia. Aku mau menjadi si penurut. Aku ingin...
Tin tin
Kutekan klakson panjang. Perasaan tidak tenang membuat aku menjadi tidak sabar. Aku meneruskan perjalanan dan menunggu beberapa saat. Aku tahu berapa waktu, tenaga dan biaya pulsa yang kukeluarkan. Namun semuanya tak kuperhitungkan. Ah cinta...begitu rumit dipahami tak mudah diselami.
Gadis itu berjalan terseyum kepadaku, dia begitu terlihat penuh pura-pura. Senyum sana senyum sini. Aku tahu dia canggung. Aku tahu dia tegang, takut dan begitu kaku. Setiap langkahnya adalah keengganan. Aku tak peduli. Aku hanya harus menjalankan tugasku.
Kutekan gas kuat-kuat, melaju kencang di atas aspal. Kuharap ini segera berlalu. Cepat sampai di rumah itu. Nah, kan, sudah kutahu. Ini hanya akan membuat aku sedih. Tangis dan tawa tak dapat kubedakan. Akankah kusenang atau sedih? Melihat gadis itu bersamanya?
Aku masuk ke kamar. Menunggu sang waktu berlalu. Menunggu nasib? Ugh, aku tak suka. Aku tak suka pada keadaan ini. Aku tak suka pada pikiranku.
Aku menggeleng-geleng kuat, tertawa kuharap dapat mengusir semua keenggananku.
TUHAN, kumohon, beri aku kekuatan.
Sekarang ditelingaku, yang keluar dari bibirnya hanyalah tentang gadis itu.
Hello, I’m in here! Look at me! Please!
Aku berteriak dalam hati. Ah yah, kumerenung dalam.
Semalaman ini aku menangis, dalam heningnya malam. Esok harus kujalani. Waktu tetap berjalan tanpa bisa aku hentikan. Tak ada pengulangan. Semua harus kupertanggung jawabkan. Aku memulainya dengan suatu harapan, kuharap dapat mengakhiri dengan sebuah keyakinan. Aku mengenakan kacamataku menutupi mataku yang bengkak.
“Hai,” sapanya pagi itu. Aku tersenyum, berharap dapat mengalihkan pandangannya pada mataku. Kuharap jangan tanya tentang mataku. Yup, berhasil dan memang sepertinya mataku tidak menarik.
Yang ada di pandangannya hanyalah gadis itu. Aku marah, aku cemburu dan aku frustasi. Aku sedih, ini menyedihkan. Tragis? Benarkah?
“Dia pergi,” katanya singkat. Aku mengangguk mengerti.
Sekarang aku bingung, apakah aku senang atau sedih. Aku tahu tugasnya menjaga jiwa gadis itu. Gadis itu pergi dan dia melepaskannya tanpa bisa ia cegah. Hanya ucapan selamat tinggal.
Aku mengambil sikap. Hei, bukankah aku telah akil balig? Seharusnya aku mengerti, seharusnya tidak ada kata terlambat. Seharusnya aku lebih dewasa mengambil sikap dari awal.
Ah.
Aku sedih, kutahu hatinya tersayat. Kutahu bayang-bayang itu masih mengikutinya. Seberapa pun ingin ditepisnya, seberapa pun keras usahanya meyakinkanku bahwa ia baik-baik saja.
Tapi setiap nama gadis itu disebut, hanya nada lirih, kesedihan yang kurasa. Dia tidak meratap, namun menangis dalam diam. Aku tahu. Dia mencoba tegar, ia mencoba membangun lagi. Namun, akhirnya tidak sesuai yang diharapkan. Aku tak mengatakan ia gagal. Belum! Terlalu dini untuk menyerah.
Namun, kami harus menerima kenyataan. Gadis itu telah pergi dan itu keputusannya.

1 komentar: