Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Selasa, 10 Agustus 2010

Unpredictable part 1

Aku menutup mulutku. Kuhempaskan saja tas ku di lantai kamar. Kututup pintu dibelakangku.

Aku ingin kabur, batinku.

Kulirik tabungan di rekening bank pribadiku yang selama ini kukumpulkan secara rahasia.
Hem, nominalnya tidak terlalu banyak, tapi cukuplah untuk aku bertahan hidup selama tiga bulan.
Kubuka pintu lalu mandi. Aku tetap bungkam.
Setelah mandi lalu belajar, dan sambil belajar kupikirkan strategi.
Bisa kubawa kabur saja kendaraan di rumah, untuk tempat tinggal, aku bisa menginap di rumah teman. Seminggu mungkin, secara bergilir.
Kulirik jam di dinding.
Jam delapan kurang lima. Tak ada yang mempedulikan aku. Semua mengganggap diam ku ini hal yang biasa.
Oh yeah, mungkin memang temanku buku. Mungkim semua cemoohan temanku di sekolah tentang aku ini anak yang sok rajin, si antisosial, kutubuku yang aneh, dan lain-lain adalah benar.

Aku lelah akan dunia ini.

Andai saja papa tak perlu pindah ke Jakarta ini.
Aku nggak perlu meninggalkan semua hal yang sudah menjadi bagian hidupku lima belas tahun.
Dan sekarang aku harus memulainya dari awal lagi di kota yang rasa egoisnya tinggi?
Uh, dari batukah hati manusia itu?
Kupukul meja belajarku. Telapak tanganku langsung berdenyut merasa sakit.
Ah, andai saja mama ada di sini.
Aku nggak akan kesepian, dicemooh. Andai dia nggak tergoda sama laki-laki lain.
Ah, andai andai? Tapi inilah faktanya. Ini dunia dan ini nyata. Nggak perlu berandai-andai lagi. Cukup.

Ayo Fraya, berpikir realistis.

Kututup buku, temanku itu, saat papa masuk kamar dan menyapaku.
"Halo sayang, ayo makan malam dulu." Papa membelai lembut rambutku yang kubiarkan terurai, mengombak di pundakku.
Aku mengangguk, aku menurut mengikuti langkah papa.
Kulingkarkan kedua lenganku di lengan papa yang sedikit berotot.
Ah, papa pekerja keras.
Makanan yang terlihat nikmat langsung membangkitkan semangatku untuk melahap habis semua yang terhidang. Inilah salah satu keahlian papa yang lain, memasak.
Ah, mungkinkah ini yang terakhir bisa kucicipi semua kelezatan di mukaku ini?
Berat hatiku meninggalkan papa seorang diri.
"Kok bengong? Ayo makan."
Kupaksakan senyumku lalu kumakan sesuap nasi dan kutelan dengan payah.

Ah, kalau kutinggalkan papa, aku nggak ada bedanya dengan mama, batinku bersuara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar