Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Jumat, 20 Agustus 2010

Unpredictable part 6

Aku melihat nama yang terpampang di layar handphoneku. Kak Rifan.
"Halo, Kak, ada apa?"
Papa melihatku penuh tanda tanya.
"Ya, jangan terlalu malam kak pulangnya," aku menjawab lalu memutuskan sambungan. Aku tidak ingin kakak tahu keadaan mama saat ini.
"Siapa itu?" tanya papa penuh selidik.
"Kak Rifan."
"Bagaimana kabarnya? Di mana dia?" mata papa penuh rasa ingin tahu, terselip rasa haru juga, walau kekecewaan atas masa lalu Kak Rifan itu masih belum termaafkan seutuhnya.
"Kemarin aku yang menjemputnya, tapi pagi-pagi dia sudah pergi ke rumah temannya, dengan mobilku," jelasku seadaanya, "Mungkin Kak Rifan sudah berangkat sebelum papa pulang."
"Yah memang, papa belum melihatnya, dia memang sudah pergi sebelum papa pulang," Papa menundukkan kepalanya. Pembicaraan ini terasa alot. Ugh, aku sebal. Selalu kaku dan ujungnya hanya diam saja.
"Kalau sudah selesai, ayo kita kembali ke kamar," Papa membuka mulutnya juga setelah aku menunggu beberapa menit. Yah, membuang waktu memang kalau harus tertahan di kantin pengap ini.
Ah, Jakarta, lagi-lagi kau membuat aku sedih, lagi-lagi kau membuatku tak nyaman. Lalu kenapa aku harus kembali ke sini? Semua hanya karena Kak Rifan. Tak kusangka, mama...
Kupikir mama telah pergi meninggalkan kami, kupikir dia pergi dengan laki-laki lain. Tapi ternyata, perceraian itu tidak pernah terjadi.
Aku berjalan berdampingan dengan papa, sepertinya memang sudah lama aku tidak sedekat ini dengannya.
Yah, sangat lama sekali. Juga aku tak tahu sejak kapan aku mulai tidak terlalu suka dengan papa, sebenarnya aku tidak mau membencinya, tidak mau kesal padanya, aku sayang papa, hanya saja aku bingung bagaimana mendekatinya, bagaimana mengekspresikan rasa itu padanya karena kadang bahkan seringkali aku merasa dia orang asing bagiku. Ah, entah sampai kapan aku merasa punya seorang ayah, sudah lama sekali sosok itu hilang dalam hidupku.
Aku melongokkan kepalaku ke jendela di pintu ruang rawat mama, tubuh yang rapuh itu, wajah yang pucat itu, ah, cabut saja nyawanya Tuhan agar mama tidak perlu semenderita itu.
Perlahan kurasa air hangat mengalir di pipiku. Ah, aku sudah janji akan tegar. Sudah lama aku tidak menangis. Keadaan memaksaku untuk keras pada hidup.
Kututup mata sejenak lalu berjalan meninggalkan rumah sakit ini. Sebaiknya aku pulang dan menunggu di rumah. Aku menunggu Kak Rifan saja.
***
Waktu terasa berputar lambat. Kak Rifan belum kembali juga, sudah jam sepuluh sekarang, ke mana dia?

Baru saja ingin kutelepon nomor Kak Rifan, tepat benar papa menelepon.
"Halo, Fraya, ke rumah sakit segera," kata suara papa terdengar bergetar.
"Kenapa pa?" aku memegang handphoneku erat.
"Datanglah segera," papa memutuskan sambungan.
Aku kebingunga. Kutelepon Kak Rifan, dia harus tahu keadaan mama saat ini, tak bisa ditunda lagi.
"Halo."
"Kak, ada di mana? Cepat ke rumah sakit," suaraku kutahan agar tak terdengar terlalu panik.
"Ada apa?" tanya Kak Rifan kebingungan.
"Mama, kritis."
Tak terdengar suara di seberang sana. Hening sejenak.
"Aku segera ke sana," Kak Rifan memutuskan sambungan. Aku segera mencari taksi.
Tuhan, kalau memang mama semenderita itu, ijinkan saja mama pulang ke pangkuanMu.
Sepertinya, sudah lama pula aku tidak berdoa, menyebut DIA , yang Maha Agung itu. Aku terlalu malu untuk berbicara denganNYA, dalam doaku. Tapi, kali ini saja, ijinkan aku melihat mama membuka matanya, memanggil namaku, satu kali saja, kumohon Tuhan, kalau KAU memang dengar aku, kumohon...
Air mataku mengalir deras, kali ini aku tak dapat menahan lagi.
Aku pernah merasa kehilangan mama, masakan aku harus kehilangan dia lagi setelah kutemukan bahkan kurang dari 24 jam.
Aku berlari menyusuri koridor, aku bahkan tidak peduli teguran beberapa perawat yang menyuruhku untuk tidak berlari atau tatapan orang-orang. Tahu apa mereka di posisiku? Tahu apa mereka tentang perasaan kehilangan?
Papa telah duduk menundukkan kepala dan menutup mukanya dengan tangannya.
Oh tidak, itu posisi yang biasa ada di sinetron kalau orang yang ditunggu itu... Oh, tidak, jangan, jangan, jangan sekarang, kumohon.
"Pa," kupanggil papa, kusentuh pundaknya.
"Fraya, duduklah," suara papa dipaksakan tenang, tapi terdengar sengau. Aku patuh, kududuk disebelahnya dan papa merangkul pundakku.
"Tabah yah Ya, mama sudah tenang sekarang, dia tidak akan merasa sakit lagi."
"Maksud papa?" aku bertanya pertanyaan yang tak perlu, aku bertanya hal yang kutahu jawabannya dan aku bertanya pertanyaan yang tidak ingin kudengar jawabnya.
Papa menunduk, aku langsung meloncat bangkit berdiri dari kursi.
"Di mana mama sekarang?" aku mulai berteriak histeris. "Di mana mama sekarang?"
Tepat saat itu Kak Rifan datang, entah dari mana dia tahu keberadaan kami, mungkin dia bertanya pada suster penjaga.
"Fraya," suara Kak Rifan mengalihkan perhatianku dari papa, aku berlari memeluknya.
"Sudah terlambat, aku dan kakak nggak punya kesempatan lagi untuk dengar mama memanggil nama kita, untuk mama melihat kita berdiri di sisinya," aku berbisik lemah, rasanya sangat lelah.
Bahu Kak Rifan langsung lemas, kulihat wajahnya memerah, dan bibirnya pucat.
"Kak," panggilku.
"Di mana mama?" tanya Kak Rifan, tapi pandangannya tidak mengarah padaku, tapi pada papa yang kini sudah berdiri dan berjalan kemari.
"Dia di ruang jenazah, sedang dimandikan."
Aku mengikuti langkah kaki panjang Kak Rifan yang berjalan cepat, aku harus berlari kecil untuk menjajari langkah kakinya.
Pintu ruang jenazah dibuka, kami segera masuk, dan bau formalin yang memuakkan, bau kematian, aku benci.
Kulihat mama terbujur kaku di atas ranjang besi yang dingin, sedingin tubuhnya. Pasti karena dinginnya logam itu merasuk ke tubuh mama yang membuat badan mama dingin. Mama tidur dengan kedinginan. Tapi mama memakai selimut putih yang bersih, ah mungkin selimut itu terlalu tipis untukknya.
Kak Rifan telah menghampiri mama dan aku masih terpaku melihat sekeliling.
Kenapa mama mau tidur dengan orang-orang lain itu. Wajah mereka buruk, putih pucat, dan mereka bau.
Perlahan kumendekat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar