Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Selasa, 17 Agustus 2010

Unpredictable part 4

Aku melajukan mobil kembali ke Jakarta. Aku harus menemui orang itu, harus! Hari ini, tepat dua tahun setelah semua kenangan yang tidak mengenakkan itu terjadi.

***

Kulihat senyum di wajah orang itu. Ah, dia memang tampan, persis seperti orang yang kusayang. Dia menatapku lalu tersenyum, aku pun membalas senyumannya seraya melambaikan tanganku. Kupercepat langkah kakiku menyongsong dia yang juga berjalan ke arahku. Kupeluk dia. Tidak berubah wangi parfumnya.
"Aku kangen," kataku manja.
Dia membelai rambutku lembut. Aku tersenyum.
"Dua tahun ini berhasil yah," aku berkata lagi. Dia mengangguk lalu tersenyum.
"Mau ke mana kita?"
"Lebih baik kita pulang dulu, aku kangen banget sama rumah."
Aku menyetujui permintaannya. Posisi kemudi digantikan olehnya.
"Gimana keadaan rumah?"
Aku menggeleng, "Aku juga tidak tahu, sejak setahun lalu aku nggak pulang-pulang."
"Memang kamu ke mana?"
"Aku kuliah di luar Jakarta, malas aku di sini. Kalau nggak jemput kakak aja nih, aku nggak pulang," jelasku panjang lebar. Rifan, nama kakakku tersenyum. Sudah lama sekali aku tidak melihat senyum itu. Yah, bukan dua tahun yang lalu, tapi jauh lebih lama.
"Aku sungguh kangen banget sama kakak," kukatakan itu dari lubuk hatiku yang terdalam.
Rifan tersenyum, memandangku dan mengelus kepalaku sekilas lalu memandang lagi ke jalan.
Aku senang, setidaknya saat ini aku tidak sendiri lagi. Yah, saat ini. Kugigit pelan bibir bawahku menahan agar air mataku tidak keluar.

***

Seperti biasa, rumah kosong. Aku yang tidak membawa kunci, begitu pula kakak, karena kunci rumah ini sengaja aku simpan. Aku mengecek di atas tiang pintu, ada, seperti biasa. Papa atau mama memang sudah terbiasa menaruh kunci di sana, sejak kami kecil. Yah, tentu, mereka terlalu sibuk dengan dunia karier mereka sendiri.
Rifan langsung masuk dahulu, melihat-lihat keadaan rumah dan menyentuh beberapa benda dengan hati-hati, tersenyum kecil lalu meletakkannya kembali.
Aku memperhatikan tingkahnya dari sofa. Aku tidak merasakan kangen sedikitpun pada rumah ini. Rasa itu sudah lama terlupakan.
Rifan menaikki tangga menuju lantai atas, tempat kamarku, dan kamarnya, dulu.
Aku melirik ke jam tanganku. Pukul lima sore.
Sebentar lagi makan malam. Kuangkat pantatku dari sofa yang empuk itu, melangkahkan kaki ke dapur. Kubuka kulkas yang besar itu, bahan makanan yang terbilang banyak untuk satu orang.
"Pasti papa bereksperimen lagi, seperti biasa," gumamku sendiri.
Aku mengambil beberapa wortel, kental, kol, dan sosis, nugget, ayam beku.
Aku membuat sop sayur dan makanan instan saja, pikirku.
Rifan belum juga turun sampai aku selesai memasak. Papa juga belum pulang, seperti biasa.
"Kak, ayo makan," teriakku dari kaki tangga. Namun, kutunggu langkah kaki, tidak terdengar juga. Akhirnya aku memutuskan untuk menaiki tangga menyusul Rifan.
Kubuka pintu kamarnya, tidak ada. Sejenak aku terpaku, kamar Rifan tidak pernah aku masuki sejak dua tahun lalu, ternyata tertata rapi dan tak berdebu. Lalu kubuka pintu kamarku.
Kulihat Rifan sedang asik dengan album foto dan laci ku dibiarkannya terbuka. Sama dengan kamar Rifan, kamarku tetap persis sebelum aku meninggalkannya setahun yang lalu.
"Kak, ayo makan," kuulangi teriakanku tadi, tapi dengan nada pelan. Rifan menengok, dia tidak menjawab malah melambaikan tangannya mengajak mendekat lalu menepuk pelan lantai kosong di samping tubuhnya. Aku menuruti permintaannya.
"Lihat Ya, ini waktu kamu kecil, lucu banget, mirip sama mama. Terus lihat, ini papa waktu masih muda, masih kekar, sekarang perutnya membuncit. Kalau aku tua, aku buncit juga nggak yah? Ya, Ya, lihat lagi nih, ini kan gebetan aku waktu SD, senang betul aku waktu dipilih jadi pangeran dan dia jadi putri di drama perpisahan sekolah. Pasti dia cantik sekarang,..."
Aku hanya tersenyum melihat antusias kakak mengenang masa lalunya. Sesekali aku mengangguk mengiyakan pernyataannya.
Sudah satu jam kami di sini, dan Rifan masih semangat membahas foto-foto itu.
"Kak, ayo makan, aku sudah masak, nanti keburu dingin."
Rifan mengangguk, menutup album foto yang besar dan berat itu.
Aku melihat sampulnya yang keras itu, tergambar sebuah keluarga, terdiri dari ayah, ibu, kakak lelaki dan adik perempuan kecil, dua saudara itu saling bergandengan dan kedua orangtua itu memiringkan kepala mereka masing-masing ke arah yang berlawanan sehingga kepala mereka menyatu, dan bibir mereka melontarkan senyum kebahagiaan.
Ah yah, gambaran keluarga yang harmonis, tapi itu hanya gambar, hanya sebuah gambar yang tidak nyata, dan tidak akan pernah menjadi kenyataan di keluarga ini.
Aku melingkarkan lenganku di lengan Rifan sambil menuruni tangga bersama.
"Ya, besok aku pinjem mobil yah, mau berkunjung ke rumah temen-temen aku," Rifan membuka pembicaraan di meja makan. Aku mengangguk sambil menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutku.
"Mau ditemenin nggak?" aku malas di rumah ini.
"Aku sendiri aja deh."
"Tersesat nggak nanti?" ledekku.
"Ah kau ini dek, aku kan bukan amnesia." Kami sama-sama tersenyum. Setelah selesai, aku membereskan meja makan ini sendiri sedangkan Rifan memainkan game di kamarnya. Entah bagaimana, semua barang di kamar kami masih baik kualitasnya. Aku menyusul ke lantai atas, dan menuju kamarku.
Hem, apa yah yang mau aku lakukan sekarang?
Aku melihat koleksi DVD ku yang tertata rapi seperti ketika aku tinggal, sesuai urutan abjadnya.
Aku memilih cerita detektif tentang pembunuhan yang hasilnya aku tegang sendiri.
Aku mematikan film itu dipertengahan.
Aku menuju kamar Rifan, memutar kenop pintunya pelan, tidak terkunci. Kubuka pelan pintu kamarnya yang tidak mengeluarkan suara derit, terlihat Rifan sudah tertidur pulas. Padahal, sekarang baru jam sepuluh kurang lima menit.
Aku menuju lantai bawah dan memeriksa pintu, yang ternyata belum dikunci. Aku mengunci pintu itu lalu kembali ke kamarku.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar