Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Jumat, 13 Agustus 2010

Unpredictable part 3

Kulajukan mobilku dengan kencang di jalan raya yang lenggang. Dini hari ini berhawa sejuk, mungkin bisa dibilang dingin.
Kubuka kaca jendela membiarkan angin menerpa wajahku. Segar. Udara kebebasan.
Aku tersenyum menatap bayangku sendiri di kaca spion dalam mobil.
Dapat kubungkam semua mulut dan kuubah senyum ejekan mereka semua jadi decak kagum.
Yah, kuraih kemenangan telak. Ujian akhir sekolah maupun nasional mendapat peringkat satu. Beasiswa ke universitas negeri favorit di Indonesia sudah ada di tanganku. Dan minggu depan, semua akan berubah. Aku bisa kuliah, dan kutinggalkan Jakarta. Kota yang kubenci selama 7 tahun ini.
Kuinjak pedal gas kuat-kuat. Angin makin menerpa tajam mukaku. Agak perih mataku, tapi aku tak peduli. Ini saat-saat terkahirku meninggalkan kota ini.

***

Ah si Yudha cari gara-gara lagi. Kali ini keterlaluan. Minggu lalu bajuku ditumpahkan kuah soto, untung tidak terlalu panas. Kemarin ban mobilku dikempesin. Sekarang tugas artikelku dihilangkan, padahal deadlinenya besok. Tugas yang telah kukerjakan tiga hari, mana mungkin kuulang mengerjakannya.
Ugh.
Kucari Yudha di seluruh kampus. Kutanyakan teman-teman yang biasa nongkrong dengannya. Beberapa menjawab dengan bingung karena melihat raut wajahku yang kutekuk.
"Dia di pohon rambutan."
Kupercepat langkah kakiku menuju tempat yang diinfokan si Baim.
Dari jauh kulihat dia sedang tertawa terbahak-bahak dengan teman-temannya yang juga konyol itu.
Ugh aku menahan dongkol.
"Balikin tugas saya!" kataku masih mengendalikan emosi.
Semua mata kini menatap aku, dan suara tawa berubah hening. Yudha menatapku sejenak kemudian melanjutkan omongannya. Tapi teman-temannnya tidak menanggapi, tapi tetap menatap aku. Aku tidak peduli, terus kutatap Yudha dengna tatapan menantang dan marah yang akhirnya Yudha menatap aku juga.
"Mau apa lo gunung es?" katanya santai, seperti biasa dengan 'panggilan' anehnya untukku tiap hari.
Kenapa aku harus satu universitas terlebih satu fakultas dengan dia? Menyebalkan.
"Balikin tugas saya!" kataku sekali lagi dengan nada yang sedikit kurendahkan dari sebelumnya, tapi tetap saja terdengar tinggi.
"Tugas apa? Ngaco lo! Mana gue tahu tugas lo di mana. Kok jadi nyalahin gue?" jawabnya santai.
"Jangan bercanda Yud, besok tuh tugas mesti dikumpul!"
"Santai aja lagi."
BUK.
Aku tidak bisa menahan emosi ku lagi. Kurasakan tulang jarinya memar, berdenyut nyeri. Yudha memegang pipinya yang memerah.

Aku langsung meninggalkan mereka semua yang terkaget-kanget akan reaksiku yang juga refleks itu. Mukaku merah padam.
Suasana sore yang sebenarnya indah itu, terlihat sepi. Jadi nggak ada yang melihat kejadian itu.
Aku mempercepat langkahku menuju kost tempat aku tinggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar