Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Selasa, 17 Agustus 2010

Unpredictable part 5

Suara ribut di bawah membangunkanku. Kulirik jam di dinding bagian kanan, jam setengah delapan pagi. Ugh, masih terlalu awal untuk ribut di pagi hari.
Kepalaku berdenyut sakit, mungkin sarafnya tegang karena langsung tersadar dari alam mimpi.
Aku langsung cuci muka dan gosok gigi.
"Siapa sih ribut-ribut jam segini?" aku menggerutu sendiri sambil menuruni tangga masih dengan piyama kelinciku.
"Kak, kok berisik banget sih? "
Belum mencapai anak tangga paling bawah, langkahku terhenti.
"Halo, sayang, kapan kamu pulang? Papa nggak lihat mobil kamu."
Aku tidak menggubriskan omongan papa, mataku tertuju pada sosok wanita yang berdiri berhadapan dengan papa dan denganku saat ini.
"Mama?!" aku terkejut dengan kehadirannya.
"Bukan sayang, kamu salah paham, ini bukan mamamu," kata Papa masih menatapku, tapi perhatianku telah tersita pada wanita yang kupanggil mama itu. Aku mengerjap dua kali dan menarik nafas.
"Aku tahu kalian sudah pisah, tapi dia tetap mamaku,pa."
"Papamu benar nak, saya bukan mamamu," terdengar suara wanita itu dari bibirnya yang tipis.
Aku semakin tidak mengerti. Kuamati wanita itu dari atas sampai bawah.
Postur tubuhnya yang ramping, warna mata yang hitam legam, hidungnya yang mancung, dan bibir tipisnya yang diolesi lipstik, pakaiannya yang rapi dan dari tempat aku berdiri dapat tercium wangi parfum yang mahal. Aku seperti melihat pantulan diriku sendiri, hanya sedikit lebih tua.
"Mama, kejam! Aku nggak dianggap anak lagi?" aku menahan tangisku. Kepalaku semakin berdenyut karena otakku dipaksa bekerja ekstra. Aku mendekat dan memeluknya.
"Aku kangen ma," kataku. Wanita itu membalas pelukanku singkat lalu buru-buru melepaskannya.
"Dengar, mamamu..."
"Kau mamaku," bantahku memotong kalimatnya.
"Sudah kubilang, mamamu bukan aku. Mamamu sedang sekarat," nada suaranya pelan dan raut mukanya datar.
"DIANA, CUKUP!" Papa memukul keras meja kaca ruang tamu hingga kaca itu memperlihatkan retakan-retakannya.
"Diana?" aku mengulangi nama yang diucapkan papa. Suasana hening, ini kesempatanku berpikir.
Mamaku bernama Dina, bukan Diana. Jadi, siapa orang yang mirip dengan mama ini? Siapa dia?
"Yah, aku keliru rupanya. Kau memang bukan mamaku, jadi siapa kau?"
"Aku kakak kembaran mamamu."
"Dan apa kata tante tadi? Mamaku koma?"
Tante Diana mengangguk.
Aku tertawa, "Tante lucu sekali. Tante tiba-tiba datang dengan penampilan mirip mama, mengaku kembarannya, dan sekarang mengatakan dia meninggal? Haha, ada apa ini? Sandiwara atau jebakan apa ini? Mana kamera tersembunyinya?" aku mulai histeris sendiri, tertawa lalu menangis. Dan aku menangis dibalik tawaku.
Papa memeluk tubuhku yang berguncang karena isak tangis.
Tante Diana memandang dengan iba, tapi tidak melakukan gerakan apapun.
"Sekarang di mana mama?" tangisku mulai reda dan aku sangat berusaha untuk berpikir normal.
"Masih di rumah sakit."
"Tunggu aku."
Aku bergegas kembali ke kamar, mengganti pakaianku dengan kaos dan jins yang kuambil asal-asalan, rambutku kuuncir tanpa kusisir dan langsung menuju ke bawah lagi.
"Ayo kita ke rumah sakit."
Papa dan Tante Diana berdiri dari tempatnya dan berjalan menuju mobil sedan hitam yang terparkir di depan pagar. Mobil melaju meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam dan membersihkan mataku yang sembab.

***

Aku mengikuti langkah kaki Tante Diana di depanku. Sementara papa terlihat sedikit pucat. Raut wajahnya yang biasa ceria, seperti ditelan kecemasannya sendiri.
Aku harus memakai baju khusus di ruangan khusus yang aku tahu itu ruangan ICU, ruangan yang sebenarnya paling aku hindari.
Aku menelan ludah dan menggigit bibir bawahku kuat-kuat hingga terasa perih.
"Ma," desahku pelan.
Mama terlihat lemah, kulitnya yang memucat dan tangannya yang terkulai tak berdaya di samping tubuhnya yang juga terlihat begitu rapuh.
Aku keluar dari ruangan itu, diikuti papa, tapi tante Diana masih tetap berdiri di tempatnya. Matanya yang menyorotkan kesedihan tidak bisa berbohong.
"Pa, sebenarnya mama kenapa bisa sampai begitu? Dan tolong jelaskan tentang Tante Diana."
"Kita makan pagi dulu," ajak papa yang langsung kuiyakan.
Aku sebenarnya malas makan di kantin rumah sakit, malas di ruangan ini. Karena bagiku, di sini memang ada harapan, tapi juga bau kematian.
Sementara papa memesan makanan, aku menuju toilet.
Membasuh mukaku dan merapikan rambutku karena terburu-buru tadi. Mataku sedikit bengkak.
Aku tak menyangka, kemarin terasa begitu bahagia bersama kakak, kemarin terasa begitu tak nyata.
Aku menuju meja di mana papa menungguku sambil menatap menerawang.
"Ayo makan," kataku sambil mengaduk mie di hadapanku dan memakannya dengan lahap. Aku memang lapar dan aku stress.
Papa melihatku sebentar, tersenyum lalu memakan mie di hadapannya dengan tempo yang lebih pelan.
Aku kira aku yang akan menunggu papa selesai, tapi ternyata papa yang selesai lebih dulu.
Setelah meminum teh hangat dengan beberapa kali teguk, papa memulai pembicaraan kita dengan mendeham sekali.
"Mungkin memang sudah saatnya. Kau sudah besar Fraya. Papa harap kumengerti." Papa menarik nafas sekali lalu melanjutkan ceritanya, "Sebenarnya, saat kita pindah ke Jakarta, itu untuk kepentingan mamamu. Mama sudah mengidap penyakit kanker stadium lanjut dan kami berusaha mencari pengobatan di Jakarta. Akhirnya, atas saran Tante Diana, mamamu selama dua tahun ini berobat ke singapore, tapi keadaannya memburuk dan mamamu meminta untuk kembali ke Jakarta saja karena dia tidak mau membebani siapa pun. Dan tadi subuh, tiba-tiba mamamu jatuh dan tidak sadarkan diri. Ah, Dina, Dina, dia terlalu baik untuk mengalami ini semua."
"Kenapa aku baru dikasih tahu sekarang? Dan, kenapa dari dulu sampai sekarang nggak ada yang menyinggung soal Tante Diana yang ternyata kembaran mama?"
"Karena pernikahan kami sebenarnya ditentanh, tapi kami nekat, akhirnya keluarga mamamu memutuskan hubungan dengan kami. Mengertilah Fraya, papamu ini dulu bukan orang yang mampu."
"Untuk itu, kalian bekerja terus sampai melupakan kami, hanya untuk mendapatkan pengakuan?!" nadaku sedikit melengking.
"Fraya," pembicaraan kami terpotong oleh dering handphoneku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar