Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Minggu, 22 Agustus 2010

Unpredictable part 7

Kak Rifan sudah membuka selimut mama sampai ke bagian bahu. Mama juga terlihat pucat, dan mama juga bau, pasti karena terkontaminasi teman sekamarnya ini. Mama juga tidak memakai baju, padahal kamar ini dingin.
Kak Rifan hanya memandangi wajah mama.
"Ma, ayo bangun," aku menunggu respon mama, tapi tak ada.
"Ma, ini Fraya, mama nggak kangen sama aku? Kenapa mama ninggalin kita? Kenapa mama nggak cerita dari awal? Kan kita bisa berunding ma, jadi aku nggak perlu sedih. Ma, ayo bangun buka mata mama," aku mengguncang sedikit tubuh mama yang tak bernyawa lagi.
"Ma, Fraya pingin dengar mama manggil nama Fraya tiap pagi, bangunin Fraya, makan masakan mama, jalan-jalan keluarga. Mama janji kan mau lihat Fraya di wisuda, mama sudah janji akan berbelanja bersama Fraya, mama bilang kalau mama akan bersama-sama Fraya sampai Fraya menemukan pria yang tepat untuk Fraya. Mama jangan tutup mata terus, mama bangun," aku mau menyentuh mama lagi tapi tangan besar yang hangat, yang berbeda dari badan mama yang dingin, mencengkram erat pundakku dan menariknya ke belakang menjauhi mama sehingga tanganku tak dapat menjangkau mama.
"Fraya, sudahlah."
"Ma bangun ma," aku berusaha melepaskan diri dari Kak Rifan.
"FRAYA!" Kak Rifan berteriak kencang, aku kaget tapi itu bagus menurutku untuk membangunkan mama, tapi kalau yang lain juga bangun bagaimana?
"Sstt, nanti yang lain bangun kak," aku mencoba memberitahu, tapi yang ada Kak Rifan malah kaget menatapku atas jawabanku itu.
"Fraya, ayo kita biarkan mama tidur dulu, mama butuh istirahat kan," Kak Rifan menggandengku keluar, aku menurut. Yah, nanti mama juga bangun, mama memang butuh istirahat sejenak karena menempuh jarak yang jauh untuk dapat bertemu dengan kami lagi.
"Kak, janji mama akan bangun?" pertanyaan bodoh yang dilontarkan oleh anak kecil. Kak Rifan hanya tersenyum dan aku tidak dapat mengartikan jawaban dari senyum itu.
***
Sudah seminggu sejak pemakaman mama, aku bahkan tidak mau pergi pada acara kematian itu. Untuk apa aku ikut mengubur orang yang sudah mati? Aku lebih baik mengurung diri di kamar, minggu depan aku harus melanjutkan kuliahku.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, saat dimana semua tidur terlelap. Aku menuruni tangga untuk mengambil minum, tapi lampu ruang tamu menyala. Aku memberanikan diri mengintip, apakah ada tamu papa selarut ini?
Aku melihat Tante Diana, Papa dan Kak Rifan di sana. Sepertinya ada masalah serius. Karena malam ini hening, aku dapat mendengar jelas omongan mereka dari tempat persembunyianku.
"Jangan lagi Fan, cukup kamu yang dikarantina dua tahun," suara berat namun berwibawa itu pasti milik papa.
"Tapi Roy, Rifan mungkin benar, kita harus membawa Fraya ke psikiater, jiwanya terguncang hebat akibat kematian Dina," satu-satunya suara wanita yaitu Tante Diana.
"Tapi," omongan Papa langsung disela suara halus yang nge-bass.
"Pa, soal aku pernah rehab tolong jangan diungkit lagi. Lagipula belum tentu Fraya sakit jiwa dan harus dikarantina. Ini hanya pemeriksaan biasa."
"Aku tidak gila!" aku keluar dari tempat persembunyianku.
"Fraya?!" Kak Rifan yang pertama kali menyebut namaku. Semua di sana kaget dengan kehadiranku, namun hanya Tante Diana yang dapat cepat mengubah kembali air mukanya.
"Aku nggak gila Kak," kataku dengan nada yang lebih tinggi.
"Fraya, dengar dulu," Tante Diana mencoba memberi penjelasan namun aku tidak memberi kesempatan.
"Dengar, kalian yang harusnya dengar aku. Aku sadar betul mama sudah meninggal, dia sudah mati, dia nggak akan bangun lagi. Aku sadar dan aku nggak gila, aku hanya...menghibur diri. Tante Diana, dengan kehadiran Tante, selalu terbayang mama. Tante nggak bisa menggantikan posisi mama, bahkan Tante juga yang menentang pernikahan papa dan mama.
Kak Rifan, aku kecewa sama kakak, di mana kepercayaan kakak ke aku, aku nggak gila, apa selama dua tahun di rehabilitasi narkoba itu membuat otak kakak tidak dapat mengenali aku lagi sebagai adik? Semua jahat, papa nggak ngerti aku, papa nggak ada saat aku butuh, berapa kali papa ambil laporan nilaiku di sekolah? Tidak pernah. Di mana papa saat aku meraih semua prestasi itu? Tidak ada di sampingku. Dan sekarang kalian semua mau mengatur hidupku? Kalian pikir kalian siapa?" aku terengah-engah dengan semua ocehanku barusan. Semua muka di sana menjadi tegang.
"Fraya," papa yang paling dulu angkat suara.
"Aku nggak gila pa," aku mulai menangis terisak, suaraku serak.
Kak Rifan berjalan mendekat lalu memeluk aku.
"Maaf Fraya, aku tahu kamu nggak gila. Kamu hanya shock saja dengan ini semua, aku kenal adikku."
"Lebih baik kakak kembali ke rehab saja," aku melepas pelukan Kak Rifan lalu berlari menaiki tangga dan mengunci diri di kamar. Aku tidak peduli pada ketukan berulang di daun pintu. Aku hanya menangis di atas kasur sampai aku lelah dan terlelap.
***
Matahari pagi tidak dapat menembus gorden kamarku, namun aku terbangun juga. Kepalaku sakit, aku memegangi kepalaku yang berdenyut nyeri.
Aku menuju lantai bawah, ada Kak Rifan di sana. Sebenarnya aku merasa bersalah atas ucapanku kemarin, tapi aku masih kesal karena mereka menganggap aku ini gila.
"Hai," sapa Kak Rifan pendek, agak kaku.
Aku menatapnya dalam kebisuanku. Kak Rifan menyodorkan roti isi selai nanas kesukaanku. Aku mengambilnya dan memakannya tanpa mengucapkan terimakasih. Aku makan dengan cepat dan kembali naik ke atas untuk berbenah diri.
Aku sengaja berlama-lama menghabiskan waktuku di kamar. Pintu diketuk, sebelum aku mempersilahkan, sang tamu telah memutar kenop pintu dan masuk. Aku melirik Kak Rifan yang masuk ke kamar.
Kak Rifan juga terdiam pada tempatnya. Kupikir dia akan keluar meninggalkanku sendiri, tapi dia malah mendekat dan duduk di sampingku dalam diam juga.
Kak Rifan mencoba meraih tanganku, aku menjauhkannya. Ketika iya berusaha mengelus rambutku, aku menepisnya.
Akhirnya, aku mematikan televisi dan menghempaskan tubuhku di kasur, menutup mukaku dengan bantal. Suasana yang hening, hanya terdengar deru mesin AC yang menengahi perang dingin ini. Aku mengintip sedikit dengan mengangkat bantalku. Kak Rifan tetap di sana, menatapku tanpa berkedip. Mukanya datar, lagi-lagi aku tak dapat menebak arti dari mimik itu.
Aku kembali menutup mukaku seutuhnya.
Aku sebenarnya nggak mau bertengkar dengannya. Aku sayang Kak Rifan, hanya dia alasan aku hidup saat ini. Ingin aku meminta maaf, tapi aku masih kesal. Apa kekesalanku ini terlalu berlebihan?
Akhirnya setelah lelah berkutat dengan pikiranku sendiri, aku tertidur lagi.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar