Sebuah kisah klasik

Beberapa cerita murni untuk guyonan atau sekedar melepas kejenuhan. Ada juga diambil dari kisah nyata, pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain, dengan penambahan beberapa imajinasi sebagai fantasi.



Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.



Harapan penulis, semoga pembaca menikmati kisah-kisah yang ada di blog ini.



Selamat membaca...

Kamis, 26 Agustus 2010

Unpredictable part 8

Sepertinya karena masalah akhir-akhir ini membuat aku lelah. Aku jadi mudah mengantuk dan tidur lama, aku tidur empat jam dari pukul empat sore dan terbangun pukul delapan malam, itupun karena perutku keroncongan.
Aku menuruni tangga, lagi-lagi rumah ini sepi, membangkitkan kesan mistisnya.
Aku melongok ke halaman depan rumah. Tidak ada mobilku terparkir di sana. Sepertinya Kak Rifan yang menggunakannya.
Ah Kak Rifan, setelah tidur tadi aku merasa sedikit lebih baik. Sebaiknya aku menarik ucapanku pada papa maupun Kak Rifan juga Tante Diana dan meminta maaf.
Sungguh tidak bijak berkata-kata kasar saat sedang marah, yang ada hanya menyisakan penyesalan dan sakit hati.
Aku menunggu Kak Rifan pulang karena aku pun tidak dapat tidur setelah 'hibernasi'ku tadi siang.
Bunyi telepon rumah membuat aku terpaksa mengalihkan perhatianku dari drama romantis yang sedang kutonton.
"Halo, betul ini rumah Rifan Hasdiwantara?" suara pria dengan nada galak.
"Yah betul. Ini siapa yah?"
"Saya berbicara dengan siapa dari Rifan?"
"Saya adiknya, ada apa yah Pak?" aku begitu gugup.
"Saya dari kepolisian ingin melaporkan bahwa kakak anda mengalami kecelakaan di jalan raya, diduga akibat penggunaan sejenis narkoba yang membuat pengguna mengalami fantasi dan kemunduran kesadaran."
Hatiku langsung berdebar, dan pegangan tanganku pada telepon langsung mengendur, gagang itu pun jatuh dari genggamanku. Oh Tuhan, apa lagi ini?
Seminggu yang lalu Kau ambil mamaku, saat ini Kak Rifan. Apa salahku? Siapa lagi yang akan Kau ambil dariku?
Aku meraih gagang telopon yang terlepas, terdengar nada memanggil dari ujung sana.
"Jadi di mana kakak saya sekarang?" tanyaku panik.
"Di rumah sakit Cempaka, harap adik segera datang," sambungan diputuskan.
Aku masih terpaku pada tempatku. Setelah sadar dari kekagetanku, aku langsung mengganti pakaianku dan menuju tempat yang dikatakan oleh petugas polisi.
Tuhan, aku meminta kepadaMU sekali lagi, tolong kakakku, aku ingin meminta maaf padanya, aku ingin dia tetap bersama-sama denganku, dialah alasan aku bertahan hidup mengatasi semua beban hidupku. Tuhan, tolong aku.
Aku menangis sepanjang perjalanan. Entah berapa banyak air mata yang telah kucucurkan akhir-akhir ini.
Saat tiba di sana, aku melihat dua polisi sedang berbincang di hall utama.
"Pak, apa bapak yang menangani kasus Rifan Hasdiwantara?" tanyaku dengan cepat.
"Yah, anda siapa?"
"Saya adiknya yang menerima telepon tadi," kataku. Polisi itu segera menunjukkan tempat di mana Kak Rifan berada. Oh tidak, jangan ke arah sana, jangan lagi. Bau formalin itu, ranjang besi yang dingin, selimut yang tipis, tidak jangan ke sana.
Polisi itu terdiam sejenak sebelum membuka pintu yang kukenal, pintu kematian itu. Dia berbalik dengan muka menyesal, "Kakak anda tewas di lokasi kejadian." Lalu polisi itu membuka pintu dan bau formaldehid itu langsung menusuk hidungku.
Aku melihat Kak Rifan dideretan tengah. Beberapa perban membungkus kepalanya dan menutupi setengah mukanya yang hancur terbakar, dari balik selimutnya yang tipis, aku melihat beberapa luka goresan panjang di tangannya.
"Kak, maafkan aku atas ucapanku kemarin, aku nggak sungguh-sungguh, aku ingin kakak bersamaku selalu," tangisku menyeruak dan salah satu polisi itu memegang pundakku, menenangkan.
"Katakan padaku ini hanya lelucon, dan dalam beberapa detik lagi, kakak saya akan bangun kembali dan kita semua akan tertawa kan?" aku tertawa keras, sikap seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya.
"Tidak Nak, terimalah kenyataan."
"Saya tidak mau menerima kenyataan. Ini bukan kakak saya, ini bukan Kak Rifan. Wajahnya tidak seburuk itu, ini bukan kakakku," aku berlari meninggalkan ruangan kelam itu, aku nggak akan pernah mau kembali ke sana.
Aku terus berlari keluar dari rumah maut ini, rumah yang mencabut nyawa semua orang yang kusayang.
"Puas kau? Semua orang yang kupunya kau rebut!!!" aku berteriak seperti orang gila. Tapi HEY!!! Aku tidak gila.
Kalau aku tidak gila, lalu mengapa mama dan Kak Rifan melambaikan tangan mereka di seberang jalan sana?
Polisi-polisi di belakangku mengejar. Ah, pasti ini lelucon, dan mereka tidak mau aku tahu trik mereka.
Dua polisi itu berteriak-teriak. Terlambat, aku sudah menemukan mereka, mama dan Kak Rifan, mereka di seberang jalan itu, melambaikan tangan mereka dan tersenyum menyambutku. Aku terus berlari ke arah mereka, teriakan di belakangku bilang, "Berhenti!"
Aku menoleh ke arah kananku, ada cahaya terang yang kian lama kian mendekat. Cahaya itu menyilaukan mataku dan membuat langkah terhenti dan menutup mataku.
Lalu semua menjadi gelap. Ah, mama dan Kak Irfan, mereka menghilang lagi. Ke mana mereka? Cahaya apa itu tadi? Lalu mengapa sekarang semua menjadi gelap? Baru saja kutemukan cahayaku di seberang jalan itu lalu kembali kegelapan melingkupi aku. Tidakkah aku boleh memiliki kesempatan?
Lalu kegelapan itu semakin mendekap erat diriku dalam pelukannya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar